Sehingga konsekuensinya, BPKH harus transparan kepada publik, misalnya capaian dan audit kinerja, rencana kerja dan anggaran (RKA). Kemudian berapa jumlah jemaah yang mendaftar haji setiap bulan, dengan pihak mana saja bekerjasama, kemana uang jemaah diinvestasikan, bagaimana sistem investasinya, berapa banyak imbal hasil setiap tahun atau bulan yang diperoleh.
Lalu berapa banyak manfaat investasi yang dijadikan ‘subsidi’ untuk penyelenggaraan ibadah haji setiap tahunnya, berapa anggaran yang tersedot untuk kepentingan operasional dan gaji pimpinan dan karyawan BPKH, dan kemana saja investasi di luar negeri ditempatkan. Bagaimana implikasi pembatalan pemberangakatan haji tahun 2020 terhadap keuangan haji di BPKH.
Semua informasi tersebut adalah informasi yang berhak diakses oleh publik sebagaimana diatur dalam UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, karena BPKH berkedudukan sebagai badan hukum publik.
"Sampai saat ini BPKH belum memiliki struktur PPID (Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi) yang secara khusus dan rutin bertugas menerima dan menyampaikan data dan informasi kepada publik," terangnya.
Tak Ada Transparansi
Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini juga mengungkapkan, karena minimnya transparansi, publik bertanya-tanya kemana dan bagaimana sesungguhnya dana calon jemaah haji digunakan, dikelola dan diinvestasikan. Terlebih perusahan investasi di sektor keuangan di berbagai negara tengah waswas menyalakan alarm kewaspadaan tingkat tinggi karena dibayang-bayangi krisis keuangan akibat pandemi Covid-19.
BPKH harus menjelaskan kepada publik bagaimana posisi dana jutaan calon jemaah haji yang diinvestasikan di berbagai jenis investasi baik yang di simpan di bank maupun non bank, dalam maupun di luar negeri. Apakah dana itu benar-benar aman dan kuat dalam menghadapi krisis Covid-19, tentu harus didukung dengan data-data yang solid dan meyakinkan.
"Sebagai catatan, yang tidak banyak diketahui publik adalah, hasil investasi dana haji ternyata sebagian besar digunakan untuk mensubsidi penyelengaraan haji yang digelar setiap tahunnya," kata dia.
Biaya haji jemaah Indonesia sesungguhnya Rp 70 juta per orang, tetapi yang dibayar oleh jemaah pada tahun berjalan sampai pelunasan yang berangkat ke tanah suci hanya setengahnya, yakni dikisaran Rp 35 juta per orang. Dengan kata lain, jemaah haji tunggu ternyata mensubsidi biaya jemaah haji yang berangkat.
Baca Juga: Cerita Perjuangan Suharto, Tukang Parkir yang Gagal Naik Haji Tahun Ini
Menurutnya model subsidi semacam itu berpotensi melanggar aturan syariah dan menimbulkan ketidakadilan, sebab syarat berangkat haji adalah bagi yang mampu, bukan yang disubsidi.
"Jadi narasi biaya haji jemaah Indonesia sebagai termurah di antara negara-negara lain sebenarnya tidak tepat. Ternyata murah karena ada subsidi," tuturnya.
Oleh karena itu, ia menyarankan BPKH untuk menata lembaganya agar transparan dan profesional dalam pengelolaan dana haji.