Suara.com - Penuh suka dan duka, begitulah salah satu bagian cerita paling banyak dialami para prajurit dan pejuang kemerdekaan. Hal ini juga dialami oleh Mangara Hutabarat (92).
Pahit dan getir masa-masa mempertahankan kemerdekaan masih jelas tergambar dari cerita Mangara sebagai salah satu prajurit perang.
Anggota Legiun Veteran Republik Indonesia itu sudah beberapa kali terlibat pertempuran, bahkan sampai pada saat Agresi Militer Belanda II sekitar tahun 1950.
"Boleh dibilang satu kali seminggu wajib perang melawan Belanda. Dulu arena pertempurannya di Tapanuli Tengah, namanya Sibolga-Tarutung, yakni di Batu Lubang KM 4," kata Mangara menceritakan masa-masa dirinya masih terlibat dalam pertempuran, saat ditemui di kediamannya Minggu (16/8/2020).
Kakek yang telah berusia senja kelahiran Tapanuli Tengah tahun 1928 itu ingat betul pertempuran terakhirnya menghadapi tentara kolonial Belanda di tahun 1950.
Dalam ingatannya, kala itu pertempuran terakhir yang ia ikuti sebelum kedaulatan Indonesia benar-benar utuh ke pangkuan Ibu Pertiwi yakni pada Tanggal 25 Juli 1950 bertepatan dengan bulan suci Ramadhan.
Terjadi pertempuran hebat kala itu dengan sepasukan Belanda di Aek Meranti, Tapanuli Tengah.
Dalam peristiwa bersejarah itu, banyak dari bala tentara Belanda tumbang. Pun begitu halnya pejuang Indonesia ada juga yang gugur kala itu.
"Waktu itu sedang puasa, 20 puasa, besok baru masuk kedaulatan. Perangnya di Aek Meranti di Kabupaten Tapanuli Tengah," katanya.
Baca Juga: Miris! Pejuang Mata-mata Agresi Militer Belanda Kini Jadi Pedagang Asongan
Menurut dia, dalam peperangan tersebut tentara Indonesia diuntungkan dari segi posisi, yakni berada pada lokasi yang lebih tinggi.
Sementara pasukan Belanda berada di bawah, sehingga memudahkan tentara Indonesia mengatur serangan dari segala arah.
Dengan menggunakan strategi serangan berlapis, tembakan demi tembakan terus digencarkan ke arah pasukan lawan.
Setiap satu pasukan dengan jumlah 7 personel selesai menembakkan peluru mereka langsung masuk dan berlindung di benteng atau uruk yang sudah dibuat.
Selanjutanya, pasukan yang ada di belakang maju dan menembak secara bergantian ke arah pasukan Belanda dengan tetap mempertahankan posisi.
"Pertempurannya di jarak yang sangat dekat, jadi kalau seandainya saat itu macet senjata, jadi abu lah kami semua," ungkapnya.