Kakek Arteria Dahlan Dituding Pendiri PKI di Sumbar, Sejarawan Bilang Ini

Chandra Iswinarno Suara.Com
Rabu, 09 September 2020 | 15:45 WIB
Kakek Arteria Dahlan Dituding Pendiri PKI di Sumbar, Sejarawan Bilang Ini
Dari kiri ke kanan, adalah: Arif Fadillah (baju putih), Natar Zainuddin,Ahmad Khatib Dt. Batuah (tanda x) dan A.Wahab (baju putih). [Foto: Suryadi]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Polemik pernyataan Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (DPP PDIP) Puan Maharani semakin melebar.

Terakhir, polemik tersebut menjadi tema diskusi yang diangkat dalam Indonesia Lawyers Club TV One dengan tema 'Sumbar Belum Pancasilais?' pada Selasa malam (8/9/2020).

Bahkan dalam diskusi tersebut, pernyataan seorang Wartawan senior Hasril Chaniago menjadi perbincangan publik Twitter usai mengungkit soal kakek Politisi PDIP Arteria Dahlan.

Hasril yang diundang menjadi pembicara dalam acara Indonesia Lawyers Club TV One, Selasa malam (8/9/2020).

Hasril menceritakan soal sejarah ke-Pancasila-an Sumbar. Hasril menceritakan mengenai Soekarno yang pernah dielu-elukan oleh masyarakat Sumatera Barat, namun kemudian dijauhi karena memasukkan ideologi komunisme yang dianggap menentang Pancasila.

Sembari bercerita, Hasril menyentil politikus PDIP Arteria Dahlan yang juga turut hadir dalam acara tersebut. Hasril mengungkit soal latar belakang keluarga Arteria Dahlan.

"Arteria Dahlan itu mamaknya itu Bachtaruddin, nama kakeknya itu. Bachtaruddin itu pendiri PKI Sumatera Barat dan anggota konstituante setelah Pemilu 1955," kata Hasril Chaniago saat menceritakan soal sejarah di Sumatera Barat.

Pernyataan wartawan Minangkabau soal latar belakang keluarga Arteria itu bahkan membuat nama Arteria Dahlan menduduki trending topic Twitter per Selasa malam hingga Rabu pagi (9/9/2020).

Namun pernyataan tersebut disanggah langsung oleh Arteria. Dia menegaskan, jika nama kakeknya adalah Dahlan.

Baca Juga: Arteria Bantah Telak Tudingan Hasril Chaniago: Nenek Saya Tokoh Masyumi

Dia mengklaim silsilah keluarga besarnya tak memiliki kaitan dengan ideologi kiri. Justru, Arteria mengaku jika dirinya memiliki keturunan dari tokoh Masyumi.

"Ya salah itu, nenek saya tokoh Masyumi. Ayah saya dibimbing sama Ummi Rasuna Said. Kakek saya yang dari Ibu H Abdul Wahab, saudagar, pedagang di Tanah Abang. Masuk Jakarta tahun 1950. Semua perantau pasti diurus kakek saya kala itu," kata Arteria kepada Suara.com, Rabu (9/9/2020).

"Kakek saya namanya Dahlan bukan Bachtarudin yang tokoh PKI itu. Jadi namanya AD itu adalah Arteria Dahlan bin Zaini bin Dahlan bin Ali bin Sulaiman. Mereka semua orang-orang alim. Nenek saya Bu Nian (Dahniar) guru ngaji orang-oranf di Maninjau lebih dari tiga generasi," kata dia.

Sementara itu, terkait nama Bachtarudin sebagaimana disebut Hasril, Arteria tidak menyangkal bahwa Bachtarudin memang tokoh PKI. Namun, tegas Arteria, keluarganya tidak memiliki keterkaitan dengan Bachtarudin.

"Memang ada tokoh PKI dari Maninjau bernama Bachtarudin. Tidak ada hubungan kekeluargaan antara Bachtarudin dengan kakek dan nenek saya, baik dari pihak ayah maupun ibu," ujar Arteria.

Meski begitu, ada fakta menarik mengenai beberapa tokoh komunis yang lahir dan besar di Sumatera Barat.

Dilansir Padangkita.com-jaringan Suara.com, dosen dan peneliti dari Universitas Leiden, Suryadi Sunuri mengemukakan, sejarah komunisme di Sumatera Barat yang dibawa oleh salah satu tokoh komunis yakni Dt Batuah ke dalam kampung Sumatera Thawalib, Padang Panjang.

Menurutnya, foto yang dijadikan sampul di atas adalah empat orang tokoh Partai Komunis Indonesia (penjelmaan dari Sarikat Ra’jat) dari Padang Panjang.

Foto ini diperkirakan diabadikan pada tahun 1920-1927. Namun komunis saat itu bersinergi dengan ajaran islam untuk mengusir penjajah dari bumi Minangkabau.

Adapun keempat tokoh dalam foto tersebut adalah dari kiri ke kanan, yakni Arif Fadillah (baju putih), Natar Zainuddin, Ahmad Khatib Dt Batuah (tanda x) dan A Wahab (baju putih).

Jika diprediksi dari wajah, dua orang yang berada di tengah kemungkinan besar lebih senior dari dua yang di pinggir. Tapi yang paling senior dari keempatnya adalah Dt Batuah.

Untuk diketahui, Dt Batuah merupakan tokoh PKI kelahiran Koto Laweh, pada tahun 1895 dan wafat pada tahun 1949 di tempat yang sama.

Menurut Suryadi, Dt Batuah adalah pendiri dan mejadi ketua PKI Cabang Padang Panjang pada Maret 1923.

Dalam membentuk dan mengelola partai tersebut, dia dibantu oleh Djamaluddin Tamin sebagai sekretaris merangkap bendahara dan Natar Zainuddin dan Dt Mangkudum Sati ditetapakan menjadi anggota kehormatan partai yang didirikannya tersebut.

Sedangkan Natar Zainuddin merupakan pria kelahiran Padang tahun 1890 dan meninggalnya juga di Padang 24 Mei 1950. Sementara itu, tidak diketahui tanggal dan tempat kelahiran Arif Fadillah dan A Wahab.

PKI di Padang Panjang mendapat penolakan dan ditentang oleh sejumlah pihak, termasuk Belanda. Penolakan tersebut disebabkan banyak hal, salah satunya adalah persoalan ideologi.

Sedangkan, Belanda waktu itu sangat khawatir dengan perkembangan PKI yang berkembang melalui gerakan Sjarikat Ra’jat (Syarikat Rakyat).

Pada tanggal 11 November 1923 Dt. Batuah dan Natar Zainuddin ditangkap oleh Belanda. Djamaluddin Tamin menduga penangkapan dua tokoh PKI itu merupakan ketidaksukaan pihak lain terhadap eksistensi PKI di Padang Panjang saat itu.

Pihak yang tidak suka terhadap Belanda mengadukan bahwa Dt Batuah dan kelompoknya seakan-akan ingin melakukan pemberontakan terhadap pemerintah Belanda.

Setelah ditangkap oleh Belanda, Dt Batuah dan Natar kemudian dipindahkan ke Sunda Kecil (sekarang Nusa Tenggara Timur/NTT) pada Desember 1924.

Sebelum dipindahkan mereka dalam penahanan dan pengawalan ketat pemerintah Belanda di penjara di Padang.

Di Nusa Tenggara Timur, Dt Batuah diasingkan ke daerah ke Kalabahi di Pulau Alor. Sedangkan Natar Zainuddin diasingkan ke Kafamenanu di Pulau Timor.

Setelah itu, Belanda pun memindahkan mereka ke Digul pada tahun 1927. Pada tahun 1942, mereka juga bahkan pernah dipindahkan ke Australia saat Jepang ke Hindia Belanda.

Mereka baru bisa menghidup udara bebas lagi tahun 1945. Dt Batuah sempat ke Jawa sebelum kembali ke Sumatera Barat tahun 1948. Natar Zainuddin juga kembali ke Sumatera Barat.

Dua tokoh berbaju putih dalam foto tersebut Arif Fadillah dan A Wahab adalah penerus perjuangan Dt. Batuah dan Natar Zainuddin.

Keduanya juga alumni Sumatera Thawalib. Arif Fadillah mengetuai PKI cabang Padang Panjang setelah dua seniornya yang lain yang menjadi pengurus partai itu.

Djamaluddin Tamin dan Mahmud pergi ke Singapura menemui Tan Malaka. Arif sudah aktif di Padang Panjang sejak 1923 dan banyak menulis artikel pedas dalam Djago! Djago!.

Ia pernah dipenjarakan Belanda selama 6 bulan tahun 1924. Menurut Benda, posisi Arif pada waktu itu adalah ‘Sectional Executive’ menggantikan Ketua Umum PKI Sumatra’s Westkust, Sutan Said Ali.

Pada tahun 1926, Arif pergi ke Jawa beberapa bulan untuk ‘kunjungan studi’. Arif aktif mengorganisir rencana pemberontakan di lapangan, dan juga menyelundupkan senjata.

Ia tertangkap Belanda dalam pelariannya pada 29 Desember 1926 dan dibawa ke Sawahlunto.

A Wahab tercatat sebagai staf PKI seksi Padang, dengan jabatan sekretaris dan bendahara, menyusul keputusan konferensi partai itu di Padang Panjang pada bulan Mei 1925.

Ia adalah salah seorang penerima uang sebanyak 300 gulden yang berasal dari dana rahasia Uni Sovyet. Arif dibuang ke Digul, sementara nasib A Wahab dan puluhan simpatisan PKI lainnya, setelah pemberontakan Komunis Silungkang yang keburu bocor itu berhasil dipadamkan Belanda dengan mudah.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI