Untuk melancarkan misinya, para buzzer ini menggunakan akun-akun media sosial palsu yang dioperasikan oleh orang-orang dan oleh bot.
Biasanya, isi konten-konten yang disebarkan terdiri dari dua jenis: informasi yang menyesatkan media atau publik dan yang kedua, memperkuat pesan dengan terus-menerus membanjiri media sosial dengan tagar.
Para buzzer di Indonesia menurut penelitian itu dikontrak oleh politikus atau partai politik tidak secara permanen.
Umumnya mereka mendapat bayaran di kisaran harga Rp 1 juta sampai Rp 50 juta.
Di Indonesia, para buzzer ini bergerak di tiga media sosial utama, Facebook, Twitter, Instagram, serta di aplikasi pesan WhatsApp.
Sementara di platform YouTube, para buzzer belum banyak bergerak di sana menurut penelitian tersebut.