Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia Mahesa Paranadipa Maikel menerangkan, pelacakan dan testing dapat memberikan data akurat jumlah penduduk yang terinfeksi. Dari yang terinfeksi dibagi lagi menjadi mereka yang bergejala dan yang tidak bergejala.
Dengan begitu, bisa dilanjutkan dengan memilah pasien yang perlu perawatan dan pasien yang cukup isolasi mandiri di rumah. Pergerakan warga yang positif bisa terpantau, sehingga penularan corona bisa dikendalikan.
Kemudian jumlah daya tampung fasilitas kesehatan pun bisa diprediksi sesuai dengan jumlah pasien yang mesti dirawat.
“Saat ini kasus Covid-19 sulit dikendalikan karena tidak jelas jumlah penduduk yang positif. Lalu mereka yang positif juga sulit dikendalikan aktivitasnya, sehingga besar resiko menularkan ke orang lain,” kata dia.
Mahesa membandingkan pelacakan kontak erat di Jakarta dengan negara-negara tetangga. Indonesia perlu belajar dari dua negara tetangga, yakni Vietnam dan Thailand, mereka melakukan pelacakan dan tasting secara agresif serta karantina.
“Kedisiplinan warga di dua negara itu dalam melakukan karantina pun efektif menekan penularan,” ujarnya.
Sedangkan di Amerika dan Inggris hanya menggencarkan testing tanpa karantina. Akibatnya jumlah pasien positif terus meningkat drastis. Sehingga menyebabkan kewalahan fasilitas kesehatan di negara tersebut.
Kemudian lonjakan kasus positif akibat pemilu di Sabah, Malaysia, dengan melakukan pelacakan yang bagus dinilai cepat menurunkan infeksi. Menurut Mahesa, dengan melakukan pelacakan sesuai standar WHO dapat menjadi warning bagi masyarakat tentang risiko penularan.
“Ditambah kesadaran dan kepercayaan penuh masyarakat kepada warning pemerintah menjadi kunci keberhasilan pengendalian covid,” tuturnya.
Baca Juga: Ada 3 Jenis Masker untuk Cegah Virus Corona, Ini Fungsinya Masing-Masing!
Saat ini, jumlah pelacakan dan testing yang memenuhi strandar WHO baru empat provinsi di Indonesia, yakni Jakarta, Sumatera Barat, Kalimantan Selatan, dan Yogyakarta. Namun lantaran tidak diberlakukan karantina yang ketat sehingga penularan masih terus terjadi.
Positivity rate masih di atas 5 persen. Sarusnya upaya lebih maksimal antara pelacakan dan testing dengan pembatasan aktivitas masyarakat seperti PSBB, sehingga positivity rate terus ditekan.
“Dengan pelonggaran aktivitas (PSBB transisi) orang keluar masuk daerah makin mempersulit pengendalian. Pertimbangan ekonomi memang saat ini menjadi dilema, namun sekaligus penyebab makin rendahnya pengendalian terhadap penularan,” ujar Mahesa.
Sekretaris Jenderal Akademi Ilmuan Muda Indonesia Berry Juliandi kepada Suara.com menjelaskan, pelacakan sangat berpengaruh pada pembatasan penyebaran corona. Pasalnya setiap orang yang pernah kontak dengan penderita dapat diidentifikasi dan dapat dipantau untuk dibatasi pergerakannya, paling tidak selama masa inkubasi virus, sekitar dua pekan.
“Pelacakan masif memang akan menurunkan jumlah kasus, namun harus dilakukan terus menerus karena jika hanya dilakukan sesaat maka penurunannya juga hanya akan sesaat. Hal lain juga berpengaruh selain pelacakan, sehingga harus dipadukan dan tidak hanya bergantung pada tracing semata,” ujar Berry.
Menurutnya penambahan kasus baru di ibu kota dan sejumlah daerah di Indonesia karena pelacakan yang masih minim sehingga kasus-kasus itu kemudian membesar.