Pasien TBC Terlupakan di Tengah Pandemi

Kamis, 10 Desember 2020 | 17:00 WIB
Pasien TBC Terlupakan di Tengah Pandemi
Ilustrasi tuberkulosis. (Shutterstock)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Sri menduga Febri meninggal dunia karena tidak mendapatkan perawatan secara optimal sebagai pasien TBC RO.

Pengalaman tak mengenakkan juga dialami pasien TBC RO lainnya, Rofik (21), pada pertengahan Agustus lalu.

Di tengah kondisi nafas yang semakin mengkhawatirkan, mahasiswa Bekasi itu akhirnya mencari taksi karena tidak bisa mendapatkan layanan ambulans dari RS yang katanya karena semuanya digunakan untuk melayani pasien Covid-19.

“Seperti yang sudah-sudah, akhirnya saya bawa Rofik ke RS naik grab. Kini dia sudah kembali ke kampungnya di Sulawesi,” kata Sri yang juga menjadi pendamping Rofik.  

Penyintas TBC RO dari Yayasan Pejuang Tangguh, Delano Reynaldo, juga mengakui, ”Kendala paling berat kami sekarang ini adalah tidak bisa mendapat pelayanan ambulans untuk pasien TBC RO. Setiap RS di Jakarta ambulansnya setiap hari habis untuk pasien Covid-19.”

Untuk menyiasatinya, selain menggunakan angkutan umum seperti yang dialami dua pasien di Bekasi, bisa menggunakan layanan ambulans dari yayasan atau lembaga sosial, meskipun itu juga tidak mudah karena keterbatasan jumlah armada, biasanya pasien harus terlebih dahulu memesan sebulan sebelumnya.

Tentu saja menunggu sebulan untuk mendapatkan ambulans bukan pilihan terbaik buat pasien yang mengalami sesak nafas secara mendadak dan butuh cepat mendapatkan penanganan dokter.

 Jika semua cara untuk mendapatkan layanan ambulans yang memiliki kelengkapan alat medis tak mungkin, terpaksalah membawa pasien dengan menggunakan sepeda motor.

Persoalan yang dihadapi pasien

Baca Juga: Malapetaka Abu Emas Hitam, Petani Banten Dikepung Polusi PLTU Suralaya

KESULITAN mendapatkan layanan ambulans hanyalah salah satu dari sekian masalah yang dirasakan pasien TBC RO, khususnya di tengah pandemi Covid-19.

Masalah berikutnya, sebagian dari mereka susah mendapatkan layanan transfusi darah karena umumnya petugas RS memiliki keengganan menerima pasien yang diketahui menderita TBC.

Sri mengatakan, “Pasien TBC sekarang susah sekali diterima dimana-mana. Pihak RS selalu bilang penuh. Bahkan yang diterima pun, pasien TBC ini agak dikucilkan.”

“Kadang ambulansnya dapat, tapi RS-nya tidak mau menerima. Hampir rata-rata RS tidak mau terima. Padahal mereka cuma transfusi darah, apa salahnya sih? Dia bukan HIV, kalau HIV kan transfusi darahnya bisa kena, tapi TBC in ikan tidak.”

Mendapatkan layanan rawat inap merupakan masalah serius berikutnya.

Menurut Sri, umumnya petugas RS di Jakarta beralasan ruang rawat inap penuh.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI