Suara.com - Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadakan pertemuan pada hari Selasa untuk membahas perkembangan dan tanggapan internasional terhadap kudeta militer di Myanmar.
Militer merebut kekuasaan setelah menahan anggota pemerintah Myanmar, termasuk peraih Nobel Aung San Suu Kyi pada Senin dini hari.
Menyadur Deutsche Welle, Rabu (3/2/2021) utusan PBB untuk Inggris, yang memegang jabatan presiden bergilir Dewan Keamanan berharap dapat mengadakan "diskusi yang se-konstruktif mungkin."
"Dewan Keamanan PBB akan melihat berbagai langkah, dengan gagasan untuk menghormati keinginan rakyat yang diungkapkan dalam pemungutan suara dan membebaskan para pemimpin masyarakat sipil," kata Duta Besar Inggris untuk PBB Barbara Woodward kepada wartawan.
"Kami ingin mempertimbangkan langkah-langkah yang akan menggerakkan kami menuju tujuan itu," kata Woodward, sambil menambahkan bahwa tidak ada langkah-langkah spesifik yang sedang dibahas saat ini.
Tom Andrews, Pelapor Khusus PBB untuk Myanmar, mengatakan kepada DW bahwa komunitas internasional harus bertindak dalam bahasa yang dimengerti oleh junta Myanmar. "Dan kami tahu dari pengalaman mereka memahami bahasa sanksi ekonomi," kata Andrews.
"Anda tidak menggulingkan demokrasi yang masih muda. Anda tidak menyerang seluruh orang dengan kudeta militer." jelasnya.
"Apa yang kami miliki di Myanmar adalah penguncian yang sangat sistematis terhadap orang-orang yang percaya pada demokrasi, yang telah memajukan hak asasi manusia. Para pemimpin pemerintah dari Aung San Suu Kyi dan banyak rekannya dalam penggerebekan dini hari ini, pemutusan komunikasi kemarin [pada hari Minggu] di seluruh negeri, penahanan para pemimpin yang bisa meningkatkan oposisi di jalanan. Jadi ini benar-benar kudeta. Mereka telah mengunci negara ini," papar agen khusus PBB itu.
Presiden Amerika Serikat Joe Biden pada Senin mengutuk tindakan kudeta dan mengancam akan menjatuhkan sanksi baru terhadap Myanmar.
Baca Juga: Goyang Pinggul Saat Kudeta Militer Myanmar: Saya Senam Bukan untuk Mengejek
Biden menyebut tindakan militer Myanmar sebagai "serangan langsung terhadap transisi negara menuju demokrasi dan supremasi hukum."