"Apa yang saya pelajari dari pengalaman saya adalah bahwa sebagian besar siswa madrasah menghadapi hukuman fisik. Di sisi lain, siswa sekolah biasa menghadapi lebih banyak hukuman psikologis,” kata Ahmed kepada DW.
Ia menambahkan, para siswa yang menghadapi hukuman fisik dan psikologis di lembaga pendidikan seringkali menjadi tertekan dan ketakutan.
"Mereka sering tumbuh dengan mentalitas negatif dan menderita rasa rendah diri. Pertumbuhan psikologis seorang anak bisa terhambat karena pelecehan, dan mereka bisa menjadi agresif seiring waktu," katanya.
Meskipun ada tindakan hukum, hukuman fisik terus berlanjut
Pada tahun 2011, setelah serangkaian laporan tentang pencambukan brutal terhadap siswa hingga menyebabkan cedera kritis, pemerintah Bangladesh melarang semua jenis hukuman di seluruh lembaga pendidikan dan menyebutnya sebagai tindakan yang "kejam, tidak manusiawi, dan memalukan".
Namun, praktik tersebut masih berlanjut hingga satu dekade kemudian.
"Di Bangladesh, hukuman fisik di lembaga pendidikan telah menjadi perhatian serius, terutama di daerah pedesaan. Banyak anak merasa ketakutan (dalam jangka panjang) untuk pergi ke sekolah karena dibayangi hukuman fisik," ujar Miti Sanjana, seorang pengacara yang berpraktik di Mahkamah Agung Pengadilan Bangladesh, kepada DW.
"Saya kira kita membutuhkan undang-undang khusus yang melarang hukuman fisik di lembaga pendidikan," katanya.
Ishrat Hasan, pengacara dan aktivis hak asasi manusia yang tinggal di Dhaka, melihat ada kesenjangan antara undang-undang yang ada dan larangan total hukuman fisik.
Baca Juga: Dugaan Pelecehan Kepala BPPBJ DKI, PSI Dukung Kasus Dibawa ke Jalur Hukum
"Hukuman badan tidak sepenuhnya dilarang di negara kami," kata Hasan kepada DW.