Warga Pancoran II Aksi Kawal Sidang Sengketa Lahan Lawan Pertamina

Rabu, 21 April 2021 | 17:58 WIB
Warga Pancoran II Aksi Kawal Sidang Sengketa Lahan Lawan Pertamina
Warga Pancoran Buntu II serta solidaritas Forum Pancoran Bersatu, turut mengawal jalannya persidangan perdata sengketa lahan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (21/4/2021). [Suara.com/Yosea Arga Pramudita]

Suara.com - Warga Pancoran Buntu II serta solidaritas Forum Pancoran Bersatu, turut mengawal jalannya persidangan perdata sengketa lahan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (21/4/2021).

Meski mereka tidak diperkenankan masuk ke dalam pengadilan, orasi mengecam PT Pertamina Training & Consulting (PTC), anak perusahaan PT Pertamina, yang diduga merampas tanah warga terus diserukan.

Seusai persidangan, kuasa hukum ahli waris Sanjoto Mangunsasmito, Edi Danggur menemui warga serta kolektif solidaritas yang menunggu di luar gerbang pengadilan.

Memakai pelantang suara, Edi menyampaikan jalannya persidangan kepada warga serta kolektif solidaritas.

"Persidangan sudah berlangsung dengan agenda jawaban dari Pertamina. Di dalam jawaban mereka, mereka menyampaikan jika Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tidak berwenang memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara ini," kata Edi kepada warga serta kolektif solidaritas di Jalan Ampera Raya, Jakarta Selatan.

Warga Pancoran Buntu II serta solidaritas Forum Pancoran Bersatu, turut mengawal jalannya persidangan perdata sengketa lahan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (21/4/2021). [Suara.com/Yosea Arga Pramudita]
Warga Pancoran Buntu II serta solidaritas Forum Pancoran Bersatu, turut mengawal jalannya persidangan perdata sengketa lahan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (21/4/2021). [Suara.com/Yosea Arga Pramudita]

Edi menambahkan, persidangan akan kembali digelar pada Rabu (5/5) mendatang, dengan agenda pembuktian dari pihak termohon. Dua pekan setelahnya, tim kuasa hukum ahli waris akan memberikan jawaban atas pembuktian tersebut.

"Oleh karena itu, hakim meminta mereka mengajukan bukti-bukti. Pada Rabu 5 Mei itu, dan dua minggu setelahnya adalah tanggapan dari kami, sebagai pengacara ahli waris," sambung Edi.

Tak hanya itu, warga dan kolektif solidaritas turut membacakan pernyataan sikap atas tindakan melawan hukum yang dilakukan oleh PT PTC. Pernyataan itu dibacakan secara bergantian melalui pengeras suara sebagai berikut:

Baca Juga: PTC Sebut PN Jaksel Tak Berwenang Adili Sidang Gugatan Warga Pancoran Buntu

Undang-Undang Nomor 11 tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Economic, Social And Cultural Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial Dan Budaya) mendefinisikan penggusuran paksa sebagai pemindahan individu, keluarga, atau kelompok secara paksa dari rumah atau tanah yang mereka duduki, baik untuk sementara atau untuk selamanya, tanpa perlindungan hukum yang memadai. 

Artinya, ada dua poin penting yang harus menjadi perhatian, yaitu metode yang digunakan dan perlindungan hukum terhadap tindakan tersebut. Sayangnya, di Indonesia sering terjadi penggusuran paksa karena banyaknya pihak-pihak yang melangkahi prosedur hukum yang sudah ada.

Penggusuran paksa di Indonesia menjadi penyakit lama yang tidak kunjung sembuh. Ironisnya, penggusuran dilakukan dengan dalih pembangunan untuk kepentingan publik. Misalnya di Kertajati dan Kulon Progo, dimana penggusuran paksa dilakukan atas nama pembangunan bandara.

Kemudian ada juga sengketa lahan di Batang atas nama pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Lalu yang paling sering untuk pembangunan jalan tol, seperti terjadi di Cijago dan Tangerang. Selanjutnya yang masih segar di ingatan kita adalah penggusuran di Tamansari yang dilakukan demi pembangunan rumah deret. Hal ini tentu menjadi perhatian khusus, apakah pemerintah lebih mementingkan pembangunan di atas hak asasi warganya?

Dalam realitanya masyarakat memiliki keterkaitan kuat atas ruang yang ditinggali selama puluhan tahun. Penggusuran secara paksa mencederai prinsip-prinsip hak asasi manusia yang menyangkut ekonomi, sosial, dan budaya. Menurut Commision on Human Right Resolution 1993/77 menyatakan penggusuran paksa adalah pelanggaran HAM berat. Semestinya siapapun harus menghargai apapun yang menjadi hak dasar masyarakat. Banyak dalih lahirnya penggusuran di Indonesia. 

Berbagai macam motif untuk memindahkan masyarakat dari ruang hidupnya; mulai dari atas nama kepentingan umum, normalisasi lahan, pembangunan kota megapolitan, pemulihan aset. Zonasi wilayah yang dibagi untuk area pemukiman, bisnis dan ruang terbuka hijau seringkali menjadikan penggusuran sebagai alternatif untuk penyediaan lahan.

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI