Kepada Anadolu Agency, Sabbag mengatakan kehidupan di sekolah seperti bencana karena kekurangan kebutuhan dasar seperti pakaian bersih, tempat tidur, air, dan listrik.
"Saya membangun rumah ini dengan menjual emas istri saya, tetapi penghuninya datang dan menguranginya menjadi puing-puing tanpa alasan. Tidak ada belas kasihan atau kemanusiaan di dalamnya," katanya, mengacu pada Israel.
Mengingat kondisi kehidupan yang parah di sekolah tersebut, dia berharap negara-negara Arab dan organisasi internasional akan mengulurkan tangan.
Di ruang kelas tepat di sebelah tempat keluarga Sabbag, tinggal seorang wanita tua, Asma Al-Asgar (82), bersama dengan putrinya, yang terpaksa meninggalkan rumah mereka karena serangan Israel.
Asgar mengatakan kehidupan di sekolah itu sulit dan kebersihan adalah salah satu masalah utama, dia bilang dia ingin pulang.