Strategi lainnya dalam memperkuat demokrasi dilakukan melalui perlawanan-perlawanan yang sporadis dan reaksioner. Bentuk perlawanan umumnya berupa aksi demonstrasi di jalanan, kampanye media, pernyataan sikap serta petisi dan tagar yang cenderung tidak memberi ancaman berarti kepada kekuatan anti-demokrasi dan karena itu mudah diabaikan.
Antara satu aksi perlawanan dengan aksi lainnya seringkali juga tidak berkait meski dilakukan oleh aktor gerakan yang sama. Tidak ada upaya mengorganisasikan berbagai elemen perlawanan itu sebagai satu kekuatan politik di bawah satu komando dengan agenda dan strategi jangka panjang. Aksi-aksi demonstrasi besar sejak #ReformasiDikorupsi tahun 2019, misalnya, cenderung cair dan tidak memiliki pemimpin. Cara ini menurut mereka untuk mencegah kooptasi gerakan oleh elite. Padahal, tanpa kepemimpinan politik, gerakan perlawanan berisiko menjadi sekadar kerumunan.
Sementara itu, beberapa elemen gerakan sosial yang mendorong adanya kepemimpinan politik memang telah membangun partai politik alternatif. Tapi sebagian besar partai ini tak punya basis sosial dan kapital yang kuat dan kurang terhubung dengan elemen gerakan sosial lainnya, yang pada akhirnya juga terjebak dalam gaya politik kelas menengah atau model partai pada umumnya. Berbagai eksperimen pembangunan partai alternatif cenderung menghadapi jalan buntu, membuat mereka hanya dikenal di lingkungan yang amat terbatas.
Namun demikian, alih-alih berefleksi, elemen-elemen gerakan sosial cenderung menilai minimnya capaian tuntutan dan target gerakan sebagai semata soal waktu. Bagi mereka, kemenangan-kemenangan kecil dapat menjadi tangga menuju kemenangan yang lebih besar. Tapi kelas menengah reformis tidak pernah punya ukuran yang jelas, kapan dan dengan cara apa pertarungan melawan kekuatan anti-demokrasi dapat dimenangkan.
Mereka kerap menyalahkan penguasa dan negara yang dianggap tidak berpihak pada kepentingan rakyat, tapi secara kontradiktif tuntutan-tuntutan yang diajukan seringkali dibuat dengan mengharapkan budi baik dan belas kasihan penguasa. Padahal, secara natural negara jelas cenderung memfasilitasi kepentingan kelompok dominan. Tidak adanya kekuatan politik progresif yang mampu memberikan tekanan signifikan membuat negara dan institusi-institusi publik tidak bekerja untuk melayani kepentingan rakyat. Bentuk aktivisme borjuis juga kerap bersikukuh menempuh berbagai upaya litigasi dalam melakukan perlawanan, meski jelas berbagai instrumen hukum dan demokrasi telah dibajak.
Secara historis, kekuatan pengancam yang signifikan dalam masyarakat kapitalis terletak pada buruh yang berserikat. Posisi sosial buruh yang esensial dalam sirkulasi kapital memungkinkan mereka dapat memberikan ancaman yang serius ketika melakukan pemogokan dan sabotase. Negara-negara kesejahteraan di Eropa Barat dan Amerika Utara yang memberikan perlindungan sosial-ekonomi yang relatif menyeluruh kepada warganya, meski dengan derajat yang berbeda, adalah hasil perjuangan politik serikat-serikat buruh yang kuat. Adanya supremasi hukum dan demokrasi yang melindungi hak warga di negara-negara itu juga hasil dari perjuangan buruh.
Tapi di era neoliberal, jumlah buruh formal – mereka yang paling potensial membangun serikat – di berbagai tempat termasuk di Indonesia semakin mengecil. Jauh sebelum itu, pengalaman kekerasan negara tahun 1965 kepada kelompok yang terafiliasi dengan komunis telah menciptakan trauma sejarah berkepanjangan yang mencegah terbentuknya serikat-serikat buruh yang progresif. Sebagian besar serikat buruh yang terbentuk pasca Orde Baru cenderung konservatif dan sekadar menjadi kepanjangan tangan negara, sementara yang lain terjebak dalam politik identitas. Serikat yang lebih progresif jumlahnya terlampau kecil untuk bisa membangun pengorganisasian yang kuat sementara yang lainnya amat bergantung pada mobilisasi oleh NGO.
Situasi ini yang membuat gerakan sosial di Indonesia didominasi oleh bentuk-bentuk aktivisme borjuis. Ini juga sesuai dengan anjuran apolitis dari para teknokrat lembaga-lembaga donor yang mendorong penguatan “masyarakat sipil” – bukan gerakan buruh yang progresif – sebagai tulang punggung demokrasi. Akibatnya, demokrasi di Indonesia tidak pernah benar-benar kuat memberi perlindungan hak-hak sosial-ekonomi warga secara menyeluruh.
Menguatnya Tendensi Otoriter
Baca Juga: Hidup Orang Rimba Kala Covid-19: Terhindar dari Wabah Tapi Kelaparan dalam Hutan
Menguatnya tendensi otoriter pemerintah dalam beberapa tahun terakhir, dengan demikian, adalah indikator lemahnya bentuk-bentuk aktivisme borjuis dalam mempertahankan demokrasi. Meskipun mahasiswa bersama organisasi masyarakat sipil lainnya berhasil mengorganisasikan rangkaian demonstrasi di berbagai tempat, terutama sejak demonstrasi bertajuk #ReformasiDikorupsi, gerakan ini mudah dipatahkan. Tidak satu pun tuntutan dasar mereka berhasil dicapai meski paling tidak lima mahasiswa telah mati, ratusan lainnya luka-luka serta puluhan demonstran ditangkap dan ditahan hingga kini.