Kisah Manusia Silver: Kesaksian Remaja-remaja yang Terbiasa Hidup dengan Bahaya

Siswanto Suara.Com
Senin, 02 Agustus 2021 | 07:00 WIB
Kisah Manusia Silver: Kesaksian Remaja-remaja yang Terbiasa Hidup dengan Bahaya
Ilustrasi: manusia silver [Dok.Antara]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Dia mengatakan sangat bersyukur sejauh ini belum pernah dilarikan ke rumah sakit karena efek samping dari pemakaian cat silver secara terus menerus. Tetapi di hati kecil, dia sebenarnya menyadari suatu saat pasti akan muncul dampaknya, hanya saja kekhawatiran tersebut dikalahkan oleh rasa tanggungjawab Idoy untuk membantu menafkahi keluarga.

Saya memperhatikan bola mata Tompel. Pada bola matanya terdapat cairan warna silver. Agaknya, cairan cat masuk ke mata setelah terbawa keringat. Saya tanya bagaimana rasanya? Sambil mengedip-ngedipkan mata yang memerah, dia menjelaskan, “Kalau udah kena begitu kita jadi ngebayang-bayang, ada yang berasa ngeganjel. Kayak ada perih-perih.”

Mata yang sudah terlanjur terkena lunturan cat, dari pengalaman ketiga remaja, bisa dengan mudah dihilangkan, hanya saja rasanya perih untuk sementara waktu. Saya sendiri ngilu ketika mendengar nama bahan yang mereka pakai untuk menghilangkan cairan cat yang masuk ke mata.

“Itu bisa diilangin, dibersihin pakai sunlight (pembersih piring) atau sabun cair atau Rinso (pencuci pakaian). Ngebersihin mata tahu sendiri dah kalau pakai Rinso atau Sunlight, itu perihnya gimana, tapi itu cuma sementara,” Idoy menambahkan.

Rinso dan Sunlight juga biasa mereka pakai untuk menghilangkan cat di sekujur badan. Sedangkan untuk membersihkan rambut, biasanya mereka memakai sampo biasa.

Mereka memanfaatkan toilet di pasar-pasar yang dilewati untuk membersihkan diri. Sesudah itu barulah anak-anak muda pulang ke rumah masing-masing dan bertemu keluarga.

Cara kerja manusia silver

Tiap hari, mereka biasanya mulai kerja sehabis Ashar. Ketiga remaja tersebut tinggal di Kota Bekasi. Selain beroperasi di kota sendiri, daerah jelajah mereka sampai ke Kabupaten Bogor dan wilayah-wilayah lain yang berbatasan dengan Ibu Kota Jakarta.

Walaupun sudah cukup lama berkecimpung ke dalam dunia manusia silver, rupanya mereka masih malu-malu jika pekerjaannya ketahuan oleh teman-teman di lingkungan rumah.

Baca Juga: Kisah Anak Transmigran Merantau ke Jakarta: Apa yang Terjadi di Kampungnya?

Itu sebabnya, ketika akan berangkat kerja, tiap-tiap dari mereka, tidak langsung mengecat badan dari rumah masing-masing. Mereka baru membuka cat dan meraciknya sesampai di daerah yang sekiranya tidak akan ketahuan oleh teman-teman di lingkungan rumah.

Setelah racikan siap, mereka membuka baju bagian atas dan hanya memakai celana pendek. Sehabis itu mengoleskan cat silver dari ujung kaki sampai rambut, kecuali mata dan gigi.

“Kalau cat udah diolesin, baru kita jalan lagi. Kalau kita belum punya tempat buat wadah uang (kardus) biasanya kita minta kardus ke pemilik warung. Kalau udah minta di warung, baru dah kita jalan muter-muter di jalan kemana aja,” kata Dudun.

Manusia silver umumnya melakukan aksi teatrikal untuk menghibur masyarakat. Misalnya menirukan gaya patung. Baru setelah beraksi, mereka menyodorkan kardus atau ember kepada tiap-tiap orang yang dihibur.

Tompel menjelaskan, “Kita bisa dibilang mengamen, tetapi sebelum itu kita mematung dulu, berapa detiklah ya kan, baru kita mintain (uang). Ngasih nggak ngasih ya udah kita pergi lagi, cari orang lain lagi, matung lagi, minta lagi. Nggak langsung minta-mintain duit gitu aja.”

Dudun tidak bisa menghafal berapa kilometer setiap hari berjalan kaki. Dia menggambarkan, setiap hari berangkat dari daerah Kranji, Kota Bekasi. Dia janjian ketemu di suatu tempat dengan rekan-rekannya. Selanjutnya, mereka naik angkutan umum sampai ke daerah yang menjadi tujuan.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI