Suara.com - Oral seks menjadi salah satu stimulus yang biasanya dilakukan oleh pasangan suami istri sebelum berhubungan intim. Meski begitu, dalam Islam, oral seks punya banyak tanggapan dan sudut pandang yang berbeda-beda menurut ulama. Lalu, bagaimana hukum oral seks dalam Islam? Berikut penjelasannya
Hukum oral seks dalam Islam menurut ulama
Menurut firman Allah SWT berbunyi,"Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki.” (QS. Al Baqarah : 223).
Dalam hal ini, oral seks yang dimaksut ialah menyentuh, mencium, hingga menelan organ kelamin pasangan hukumnya adalah makruh. Sebagaimana diriwayatkan oleh istri rasulullah, Aisyah, yang mengatakan, “Aku tidak pernah melihat kemaluannya saw dan beliau saw tidak pernah memperlihatkannya kepadaku.” (al Fiqhul Islami wa Adillatuhu juz IV hal 2650).
Selain itu, menurut pendapat Prof DR Ali Al Jumu’ah dan Dr Sabri Abdur Rauf, seorang Ahli Fiqih Universitas Al Azhar, dijelaskan bahwa oral seks boleh dilakukan oleh sepasang suami istri untuk mendapatkan kepuasan seksual.
Meski begitu, menurut bersamadakwah, oral seks boleh dilakukan asal tidak sampai menjilat atau menelan madzi (cairan bening dan lengket yang keluar dari kemaluan).

Menyadur dari NU Online dalam artikel "Ini yang Perlu Diperhatikan dalam Oral Seks" oleh penulis Ahmad Mundzir, dalam rangka memuaskan pasangan antara suami istri, Islam membebaskan trik dan gaya bercinta antara keduanya selama tidak bertentangan dengan aturan syariat. Termasuk pula dalam melakukannya dengan gaya oral seks. Hal ini tidak termasuk larangan dalam agama.
Orang yang melakukan oral, sebagian dari mereka, sudah banyak yang dalam kondisi ereksi atau tegang sehingga tidak jarang para pasangan suami-istri ini sudah mengeluarkan pelumas berupa cairan bening atau biasa disebut dengan istilah madzi.
Jika ditelisik lebih dalam, selain air kencing, ada tiga jenis air yang keluar dari kemaluan manusia. Pertama, air sperma (mani). Sperma bisa diidentifikasi dari salah satu beberapa cirinya, yaitu keluar dengan memancar dan tersendat, serta ada bau yang khas.
Baca Juga: Doa Sebelum Mulai Bekerja, Lafalkan Agar Mendapat Rezeki yang Berkah
Kedua, air wadi, yaitu air keruh, kental yang biasa keluar setelah orang mengeluarkan air kencing mungkin disebabkan faktor capai atau hal lain.
Ketiga, air madzi, yaitu air bening yang keluar dari kemaluan, baik dari seorang pria maupun wanita yang biasanya disebabkan karena faktor syahwat. Baik disebabkan karena membayangkan, melihat atau sedang pemanasan (foreplay).
Di antara semua air yang keluar tersebut hukumnya najis kecuali sperma. Seseorang yang mengeluarkan sperma, wajib mandi. Sedangkan wadi dan madzi hanya mewajibkan wudhu, tidak harus mandi, serta harus dibersihkan sebagaimana membersihkan najis seperti biasanya.
Bagi pasangan yang sedang melakukan hubungan intim, tentu sangat kesulitan jika harus menghindari madzi ini. Karena madzi memang diciptakan Allah untuk melengkapi kegiatan jima' yang dilegalkan dalam syara' bagi pasangan yang sah. Ia menjadi pelumas untuk sebuah lancarnya hubungan senggama.
Sementara apabila kita melihat fiqih dasarnya, ada sebuah aturan bahwa seseorang tidak diperkenankan mengotori tubuh dengan najis tanpa ada alasan yang jelas, apalagi memasukkan najis tersebut ke dalam tubuh, tentu tidak diperbolehkan. Madzi merupakan cairan najis. Ia berlaku hukum yang sama. Artinya tidak boleh sampai masuk ke dalam tubuh, termasuk masuk ke kelamin seorang istri. Tetapi karena hal ini sangat sulit dihindari, maka syara' memberikan toleransi sehingga madzi bagi pasangan yang sedang melakukan hubungan suami-istri hukumnya dima'fu (diampuni).
Artinya, “Tempat sucinya sperma itu jika memang kepala batang dzakar dan farji yang keluar murni berupa mani yang suci. Jika tidak murni suci, hukumnya (mani itu) najis dan haram bersenggama dengan kondisi seperti demikian sebagaimana orang orang istinja' dengan batu ketika air sperma keluar dari situ. Karena hal itu menjadikan najis. Iya, diampuni dari orang yang kesulitan menghindari hal tersebut dengan nisbat untuk jima',” (Lihat I'anatuth Thalibin, juz I, halaman 85).