Sekalipun begitu, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengucapkan selamat kepada rakyat Irak "atas cara pemilihan berlangsung.''
Dia meminta warga Irak tenang menunggu pengumuman hasil pemilu, dan berharap agar perundingan pembentukan pemerintahan yang baru bisa berlangsung dalam "lingkungan yang damai, aman dan tenteram.''
Pemilihan paremen kali ini adalah pemilu yang dipercepat beberapa bulan dari jadwal sebenarnya. Ini sebagai konsesi kepada gerakan unjuk rasa yang dipimpin orang-orang muda untuk memrotes korupsi dan salah urus.
Para pengunjuk rasa pada akhir 2019 memadati jalan-jalan di Baghdad dan provinsi-provinsi selatan Irak dan menyerukan reformasi besar-besaran serta pemilihan umum baru.
Protes anti Iran meningkat
Meskipun pemerintah Irak kemudian menyetujui pemilu yang dipercepat, namun karena banyaknya korban tewas dan tindakan keras aparat terhadap gerakan protes, banyak aktivis yang kemudian menyerukan aksi boikot pemilu.
Banyak aktivis muda yang ambil bagian dalam protes 2019 juga menentang makin kuatnya pengaruh Iran dalam politik Irak, termasuk milisi bersenjata pro Iran yang menyaingi otoritas negara.
Banyak pemrotes menyalahkan milisi pro Iran, karena ikut mengambil bagian bersama pasukan keamanan dalam menekan aksi protes secara brutal.
Diperkirakan ini salah satu alasan, mengapa aliansi Fatah kehilangan banyak suara dalam pemilu. Di bawah undang-undang Irak, partai yang memenangkan suara mayoritas dapat memilih perdana menteri, namun belum jelas koalisi mana yang bisa mengamankan suara mayoritas.
Baca Juga: Irak Klaim Tangkap Bendahara ISIS, Amerika Tawarkan Hadiah Rp71 Milyar
Banyak pengamat menilai, perlu negosiasi panjang untuk mencapai konsensus dan membentuk koalisi pemerintahan. Parlemen baru juga akan memilih presiden baru Irak.