Pertama, negara eksportir. Menurut data BPS impor reagent untuk tes PCR pada periode Januari-Agustus 2021 mencapai 4.315.634 kg (4.315 ton) dengan nilai 516,09 juta dolar AS atau setara Rp7,3 triliun.
China dan Korea menjadi negara eksportir terbesar senilai masing masing USD 174 juta dollar dan USD 181 juta dollar, disusul AS sebesar USD 45 juta dollar, Jerman USD 33 juta dollar.
"Kedua, perusahaan importir swasta dalam negeri. Data Bea dan Cukai, perusahaan swasta adalah entitas yang mendominasi kegiatan impor PCR mencapai 88,16 persen, lembaga non profit hanya 6,04 persen, dan pemerintah 5,81 persen," tutur Sukamta.
Hal senada juga disinggung oleh Anggota DPR Fraksi PAN Guspardi Gaus.
Merujuk laporan ICW sejak Oktober 2020 hingga Agustus 2021, Guspardi berujar bahwa keuntungan bisnis PCR sangat menggiurkan. Provider atau penyedia jasa layanan pemeriksaan PCR setidaknya mendapatkan keuntungan sekitar Rp10,46 triliun atau Rp 1 triliun lebih setiap bulan.
"Kesan yang timbul di masyarakat bahwa pemerintah lebih pro kepada pengusah yang mempunyai bisnis tes usap PCR ketimbang rakyat. Wajar juga kecurigaan masyarakat yang menduga telah terjadi permainan dengan menjadikan komoditas kesehatan sebagai ladang bisnis yang menguntungkan kelompok tertentu," kata Guspardi.