Michelle datang ke Australia di tahun 2016 dengan kondisi yang sama dengan Maddy dan James, tapi setelah dieksploitasi di sebuah tempat pijat di Melbourne selama bertahun-tahun, Michelle kembali ke China di tahun 2019 karena tak punya lagi bekal untuk hidup di Australia.
"Negara-negara demokrasi yang menggaungkan persamaan hak, keadilan, hak asasi manusia ... tidak bisa melakukan apa-apa dalam situasi itu," ujarnya.
ABC sudah mencoba mengontak bekas tempat kerjanya, mereka menyangkal semua tuduhan dan tidak menanggapi pertanyaan.
Laporan soal pencurian upah pekerja oleh majikan atau perusahaan besar, seperti 7-Eleven pernah menjadi berita utama di Australia, tapi penelitian terbaru menunjukkan eksploitasi, pencurian upah dan praktik ilegal lainnya menjadi hal yang biasa dialami mereka yang memiliki visa sementara di Australia.
Lebih parahnya, kondisi eksploitasi ini dilakukan secara sukarela oleh mereka demi bisa mendapatkan visa menetap.
Selama tiga tahun untuk riset laporan ini, ABC sudah bicara dengan lebih dari 100 pemegang visa sementara di Australia yang mengalami eksploitasi di tempat kerja dan terus mengikuti cerita mereka.
Kebanyakan orang tidak mau bicara kepada ABC, karena takut jika nantinya akan berpengaruh pada masa depan mereka atau tidak akan mendapat pekerjaan, karenanya nama-nama dalam laporan ini bukanlah nama sebenarnya.
Mereka yang bicara kepada ABC beragam, mulai dari pelajar internasional sampai 'backpacker' yang mendapat upah AU$12 [atau lebih dari Rp120 ribu] per jam, jauh dari upah minimum yang berlaku di Australia. Mereka juga mengalami kasus eksploitasi yang ekstrim dan perbudakan modern.
Kebanyakan dari mereka bekerja di kota-kota besar, di tempat-tempat yang dilewati dan dikunjungi oleh jutaan warga Australia setiap harinya.
Baca Juga: Ramai Dukungan untuk Sandiaga, Legislator Gerindra Bicara soal Eksploitasi Identitas Ulama
Bahkan setelah mereka mendapat status warga negara Australia, masih banyak migran yang bekerja dengan situasi dieksploitasi selama puluhan tahun, karena tantangan bahasa dan tak memahami hak mereka, atau tak tahu harus meminta bantuan ke mana.
Agustus tahun ini, ABC bertanya bagaimana mereka dieksploitasi. Salah satu tanggapan di WeChat menyimpulkannya begini:
"Lebih mudah untuk mencari perusahaan mana yang tidak mengeksploitasi pekerja migran," ujarnya.
Mengingat adanya kepentingan antara mereka yang mengeksploitasi dan pekerja, yakni yang mau dibayar murah demi mendapat status penduduk tetap di Australia atau jadi tidak harus bayar pajak, para pengamat menilai digaji murah atau pencurian upah menjadi hal yang normal dan tersembunyi meski terlihat nyata.
"Sangatlah sulit untuk mengetahui sebarapa banyak yang jadi korban permudakan modern di Australia," kata Dr Erin O'Brien, peneliti soal perbudakan modern di lembaga Centre of Justice milik Queensland University of Technology di Brisbane.
"Salah satu alasannya adalah karena ini jadi kejahatan tersembunyi, kita kadang tak melihatnya atau tdak bisa mengidentifikasinya semudah itu."