Suara.com - PM Adallah Hamdok mengundurkan diri di tengah aksi protes massal yang mendekap Sudan sejak sebelum kudeta militer dua bulan silam. Keputusan tersebut menempatkan Khartoum di bawah kontrol Jenderal Abdel Fattah al Burhan.
Surat pengunduran diri Perdana Menteri Abdalla Hamdok diterima pada Minggu (2/1). Dia sempat dijatuhkan dalam aksi kudeta militer pada 25 Oktober 2021, sebelum dibebaskan dan dipulihkan sebagai kepala pemerintahan hampir sebulan kemudian.
Dalam kesepakatannya dengan Jendral Abdel Fattah al Burhan, Hamdok sedianya ditugaskan menyiapkan penyelenggaraan pemilihan umum pada pertengahan 2023.
Namun belakangan media-media lokal mengabarkan, sang perdana menteri absen dari kantornya sejak beberapa hari terakhir, yang memperkuat rumor pengunduran diri.
"Saya berusaha sebaik mungkin untuk menghentikan agar negara ini tidak tergelincir menuju bencana,” kata Hamdok dalam sebuah pidato kenegaraan yang disiarkan televisi nasional.
Sudan "sedang melintasi batas yang mengancam eksistensinya,” imbuhnya.
Negeri di timur laut Afrika itu mengalami transformasi politik sejak kejatuhan bekas diktatur, Omar al-Bashir, pada 2019 silam.
Sejak itu, Hamdok menjadi perwakilan sipil yang mengurusi masa peralihan, sementara al-Burhan menggeser al Bashir sebagai pemimpin de facto Sudan. Hamdok mengakui adanya "fragmentasi kekuatan politik dan konflik antara komponen transisi (sipil dan militer),” tapi "meski semua upaya yang telah dilakukan untuk mencapai konsensus, itu tidak tercapai.”
Jenderal al Burhan sejauh ini bersikeras mengklaim penjatuhan pemerintahan sipil oleh militer pada Oktober silam "bukan merupakan sebuah kudeta,” melainkan dorongan "untuk mengoreksi haluan transisi.”
Baca Juga: Insiden Tambang Emas Tua Ambruk Di Sudan, 38 Penambang Liar Tewas
Aksi protes di jalan Demonstrasi massal menentang kudeta masih berlanjut, meski militer telah membebaskan Hamdok.