"Kehidupan sosial yang selama ini dibangun, upaya untuk hidup lebih layak, serta hak anak-anak untuk pendidikan terganggu akibat penggusuran ini," ucap dia.
FPR memandang, penggusuran itu selama ini telah dikhawatirkan dan ditentang olehmasyarakat Bulukumba, utamanya saat perencanaan pembangunan Waterfront City.
Sebab, kata Rudi, pembangunan sentra kuliner Bulukumba di pantai Merpati saat ini adalah lokasi section I dari masterplan Water Front City (WFC) Bulukumba yang terhenti karena perjuangan rakyat bersama FPR Bulukumba pada tahun 2013 hingga 2014.
Dari data yang dihinpun FPR, WFC akan memakan lahan seluas 111,18 hektar di sepanjang pesisir Bulukumba, Kecamatan Ujung Bulu yang merupakan Ibu Kota Kabupaten Bulukumba yang meliputi empat kelurahan yakni Bintarore, Kasimpureng, Bentenge, Terang-terang, dan Ela-ela.
Rudi menambahkan, masyarakat akan mengalami dampak yang lebih luas lagi, utamanya menyasar petani rumput laut, nelayan tradisional, papuka’, palanra, patude-tude, dan lain-lain. Kata dia, penggusuran semacam inu kerap terjadi, bahkan terus meningkat di berbagai daerah di Indonesia karena sistem pembangunan yang tidak demokratis bagi rakyat.
Oleh karena itu, FPR mengecam tindakan penggusuran dan menuntut agar Pemkab Bulukumba segera bertanggung jawab atas kerugian yang dialami masyarakat yang telah digusur. Rudi menegaskan, Pemkab Bulukumba seharusnya memberikan perhatian lebih serius dalam membantu kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat untuk bangkit dari keterpurukan akibat krisis ekonomi dan pandemi Covid-19.
"Pembangunan di Pantai Merpati seharusnya menjadi cara untuk mengintegrasikan nelayan dan masyarakat pesisir dalam pembangunan di Bulukumba," papar Rudi.