Suara.com - Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Dirjen Otda Kemendagri) Akmal Malik menyatakan perpanjangan masa jabatan kepala daerah yang akan berakhir dalam waktu dekat ini berpotensi melanggar aturan. Lantaran dalam regulasi yang ada, masa jabatan kepala daerah hanya dibatasi lima tahun.
Pernyataan tersebut disampaikan Akmal menanggapai wacana perpanjangan masa jabatan sejumlah kepala daerah yang akan berakhir dalam waktu dekat ini, ketimbang menunjuk Aparatur Sipil Negara (ASN) sebagai penjabat kepala daerah.
Akmal menegaskan, dalam kehidupan bernegara termasuk penyelenggaraan pemerintahan, wajib hukumnya menaati aturan perundang-undangan yang berlaku. Hal itu harus menjadi dasar semua pihak, baik dalam bertindak maupun menyusun kebijakan.
"Dalam menjalani kehidupan bernegara dan menyelenggarakan pemerintahan seluruh elemen bangsa wajib mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana amanat konstitusi yang di muat dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yakni Negara Indonesia adalah negara hukum, " ujar Akmal dalam keterangan tertulisnya pada Senin (14/2/2022).
Usulan tersebut seperti yang disampaikan mantan Dirjen Otda Kemendagri Djohermansyah Djohan. Menurutnya, sebaiknya persoalan kekosongan jabatan kepala daerah tak perlu dijawab dengan pengisian penjabat.
Djohermansyah menyarankan, agar kepala daerah yang habis masa jabatannya itu diperpanjang saja.
Hal itu dinilai lebih baik, ketimbang menunjuk atau mengangkat ASN menjadi penjabat yang disebutnya punya beberapa keterbatasan dan kendala ketika menjabat terlalu lama.
Untuk diketahui, dalam waktu dekat, yakni mulai 12 Mei 2022, sejumlah kepala daerah akan berakhir masa jabatannya. Tercatat ada 272 kepala daerah mulai dari gubernur, wali kota hingga bupati yang tersebar di 25 provinsi.
Sementara itu, pemilihan kepala daerah (pilkada) baru akan digelar secara serentak pada 2024 mendatang.
Akmal menjelaskan, masa jabatan kepala daerah telah diatur dalam Pasal 162 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 serta Pasal 60 UU Nomor 23 Tahun 2014.
Dua aturan tersebut menjelaskan, masa jabatan kepala daerah yakni hanya 5 tahun terhitung sejak pelantikan, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.
Artinya, kata dia, tidak ada klausul perpanjangan masa jabatan kepala daerah. Apabila diperpanjang, justru itu akan bermasalah dari sisi perundang-undangan dan berpotensi melanggar aturan.
"Dengan demikian dapat dikatakan bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 60 UU Nomor 23 Tahun 2014 serta Pasal 162 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 10 Tahun 2016 tersebut tidak terdapat ruang regulasi untuk perpanjangan masa jabatan kepala daerah karena secara eksplisit normanya mambatasi hanya lima tahun," tutur Akmal.
Adapun UU Nomor 10 Tahun 2016 yang memuat pengaturan tentang Pilkada, termasuk ketentuan soal Pilkada Serentak Tahun 2024 merupakan tindak lanjut dari amanat Pasal 18 ayat (4) UUD 1945.
Selain itu, lanjut Akmal, mengenai penunjukan penjabat kepala daerah juga memiliki dasar hukum. Hal tersebut tertuang dalam regulasi yang mengatur soal Pilkada serentak, mulai UU Nomor 1 Tahun 2015, UU Nomor 8 Tahun 2015, UU Nomor 10 Tahun 2016, dan UU Nomor 6 Tahun 2020, di dalamnya memuat soal pengaturan tentang penjabat kepala daerah untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah, sampai dengan dilantiknya kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih.