Kesaksian Dokter Saraf yang Meneliti Sekaligus Idap Covid Berkepanjangan

SiswantoBBC Suara.Com
Kamis, 24 Februari 2022 | 11:40 WIB
Kesaksian Dokter Saraf yang Meneliti Sekaligus Idap Covid Berkepanjangan
BBC
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Pada saat Clarissa Yasuda bersiap merekrut puluhan individu untuk riset ilmiah mengenai penyakit Covid berkepanjangan, dokter ahli saraf tersebut juga harus menghadapi dampak Covid pada otaknya setelah mengidap virus corona pada Agustus 2020.

"Saya tidak kembali ke normal, saya tidak kembali ke keadaan sebelum Covid dari segi kognitif, konsentrasi, kecekatan, dan cara berpikir fleksibel … setelah satu tahun setengah, sepertinya saya bisa mengembalikan 30% atau 40%. Namun, saya tidak benar-benar pulih 100%," papar Clarissa Yasuda, dokter ahli saraf berusia 46 tahun.

"Saya bukan orang yang sama, sepertinya nilai IQ saya turun," sambung perempuan berpredikat profesor di Fakultas Kedokteran Universitas Negeri Campinas itu kepada BBC Brazil.

"Penyakit ini membuat saya sangat tidak nyaman. Setelah satu setengah tahun, dengan upaya keras, disiplin ketat, menggabungkan banyak hal, saya merasa sedikit lebih baik. Saya khawatir [kemampuan otak] saya tidak bisa seutuhnya pulih," paparnya.

Baca juga:

Yasuda mengaku bahwa keahliannya di bidang saraf membuat dirinya "menyadari perbedaan sangat halus" dalam kemampuan dan fungsi otaknya.

"Saya melihat dua sisi," ujarnya, merujuk pengalamannya sebagai dokter ahli saraf maupun pengalaman pribadinya dalam menghadapi Covid berkepanjangan.

Covid berkepanjangan

"Disfungsi kognitif" merupakan salah satu dampak mengidap Covid berkepanjangan, menurut pemaparan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Dampak lainnya mencakup keletihan dan napas pendek.

WHO menyebutkan, gejala-gejala ini biasanya muncul dalam tiga bulan sejak mengidap Covid.

Baca Juga: Gejala Omicron Muncul Setelah Berapa Hari Kontak Erat Pasien Positif Covid-19? Waspadai Waktu Kritisnya!

Setelah itu, gejala-gejala tersebut biasanya berlangsung selama dua bulan ke depan.

"Gejala-gejala dapat muncul lagi setelah pulih dari fase akut atau terus muncul sejak awal mengidap [Covid-19]. Gejala-gejala ini juga bisa berfluktuasi atau kembali muncul seiring waktu berjalan," sebut WHO.

Para peneliti di seluruh dunia telah berupaya memahami bagaimana dan mengapa Covid-19 bisa meninggalkan sisa jejak pada sistem saraf, bahkan pada orang-orang yang sebelumnya sangat sehat atau mereka yang mengidap gejala ringan.

Sejumlah kajian, termasuk yang diteliti Clarissa Yasuda, telah menunjukkan dampak neurologis yang ditimbulkan Covid berkepanjangan melalui laporan-laporan pasien, beragam hasil pemindaian, berbagai uji kognitif, serta rangkaian autopsi.

Perbanyak olahraga

Yasuda mengisahkan bahwa ketika dirinya mengidap Covid pada 2020, gejalanya ringan tanpa masalah pernapasan. Namun, dia mengalami dehidrasi dan masalah pencernaan.

Gejala-gejala lain muncul belakangan.

Yasuda mengaku sering mengantuk saat siang, mudah letih, sulit mengingat, dan tidak mampu mengerjakan tugas-tugas dengan beban kerja yang sama sebelum mengidap Covid.

Untuk menyiasatinya, dokter ahli saraf ini mencoba beradaptasi. Misalnya, tidur satu jam atau satu setengah jam lebih lama dari durasi tidur sebelum mengidap Covid .

Kemudian, ketika akan melakukan aktivitas yang menyita pikirannya—seperti mengerjakan statistik—Yasuda memastikan dirinya sudah cukup istirahat dan punya banyak waktu untuk menuntaskan pekerjaannya.

Yasuda meyakini "aktivitas fisik membantu kerja otak". Karena itu, dia mengintensifkan olahraga berupa pilates, latihan fitness, berenang, dan sesekali berlari.

Hipotesisnya adalah kekurangan oksigen bisa meningkatkan aktivitas hippocampus, bagian otak yang penting bagi memori dan fungsi lain.

Namun, guru besar perempuan ini mewanti-wanti bahwa rangkaian aktivitas tersebut adalah eksperimen pribadinya dan itu masih perlu dibuktikan melalui kajian ilmiah.

Baca juga:

Selain aktivitas fisik, Yasuda mencari cara lain dengan berbagi ide dengan seorang teman psikiater yang juga mengalami perubahan daya kognitif akibat Covid berkepanjangan.

Selama beberapa pekan, misalnya, Yasuda menggunakan aplikasi Lumosity berisi permainan matematika dan memori guna melatih otaknya.

Akibat kondisinya sekarang, dia tak lagi bisa mengerjakan beberapa hal sekaligus alias multi-tasking. Hal ini membuatnya frustrasi.

"Sekarang saya harus menyelesaikan satu tugas, baru kemudian memulai tugas lain," keluhnya.

"Saya merindukan banyak hal, seperti proyek yang saya ingin selesaikan tapi tidak bisa."

Apa hasil kajian ilmiah?

Pada akhir Januari, jurnal Science merilis artikel tinjauan dua ahli saraf tinjauan mengenai dampak Covid terhadap sistem saraf.

Baca juga:

Avindra Nath dari Institut Penelitian Gangguan Neurologis dan Stroke di Amerika Serikat, serta Serena Spudich dari Fakultas Kedokteran Universitas Yale, menyebut dampak pasca-Covid mencakup gangguan konsentrasi, sakit kepala, gangguan sensorik (semisal hilang penciuman dan rasa), depresi, dan "bahkan psikosis" semisal halusinasi.

Kedua ilmuwan tersebut menulis bahwa "tiada kepastian" mengenai berapa lama masalah-masalah ini berlangsung.

Artikel itu mengutip sejumlah kajian yang melakoni rangkaian tes terhadap cairan serebrospinal (CSF).

Dari situ, mereka menemukan bukti bahwa otak lebih terdampak virus corona akibat respons tubuh yang berlebihan (seperti peradangan dan produksi antibodi) ketimbang serangan langsung virus tersebut terhadap organ-organ tubuh.

Sejumlah pemindaian MRI juga memperlihatkan beberapa pengidap Covid-19 mengalami pecah pembuluh darah yang memasok darah ke otak. Adapun pemindaian CT (CT scan) menunjukkan berkurangnya aktivitas metabolis pada pasien-pasien Covid berkepanjangan.

Pada Desember 2021, Clarissa Yasuda dan beberapa koleganya dari Universitas Negeri Campinas, Brasil, menerbitkan sebuah artikel (yang belum ditinjau ilmuwan-ilmuwan lain). Artikel itu menganalisa kondisi 87 pasien Covid bergejala ringan yang dirawat di Campinas

Dua bulan setelah mengidap Covid, gejala terbanyak yang dialami pasien-pasien adalah keletihan (43,7% responden), sakit kepala (40%), dan gangguan ingatan (33%).

Dalam evaluasi neuropsikologi melalui serangkaian tes dan kuesioner, Yasuda dan kolega-koleganya mendeteksi gejala depresi pada 18% responden dan kecemasan berlebih sebanyak 29%.

Saat menganalisa pemindaian MRI, para ilmuwan tersebut juga menemukan perubahan dalam otak yang diasosiasikan dengan gangguan konsentrasi dan fleksibilitas kognitif.

Dampak varian Omicron

Berbagai temuan dalam penelitian Yasuda dan timnya merupakan hasil awal dalam riset mengenai dampak Covid berkepanjangan terhada sistem saraf.

Tim peneliti tersebut telah mengevaluasi lebih dari 500 orang dan menjalin kerja sama dengan kelompok-kelompok peneliti lainnya di Eropa.

Mereka mengestinasi kajian topik itu akan berlangsung selama lima tahun ke depan.

Seiring dengan berjalannya penelitian tersebut, Yasuda semakin khawatir pada dampak Covid berkepanjangan terhadap tenaga kerja serta meningkatnya kasus varian Omicron.

"Saya berharap gejala ringan varian Omicron tidak berdampak pada sistem saraf di kemudian hari. Karena jika demikian, jumlah [orang yang terpapar] akan sangat banyak," pungkasnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI