Afraa Hashem mengenang, betapa taman-taman kota dialihfungsikan untuk memakamkan korban perang.
"Suara ledakan datang silih berganti", katanya.
Di Aleppo, warga sipil harus hidup layaknya serdadu di arena perang perkotaan, tersembunyi dan selalu berpindah dari satu gedung ke gedung lain.
Tanpa pasokan bahan bakar, warga membuat "minyak plastik,” yang diekstrak dari botol dan kontainer plastik.
"Kualitasnya buruk dan sering membuat macet generator listrik", kata Afraa mengenang masa sult itu.
Tapi mereka tidak punya pilihan lain. Dia mengatakan, gedung-gedung yang masih utuh di Aleppo kini disita untuk dihuni serdadu Suriah, termasuk rumahnya, menyitir kisah anggota keluarga yang masih bertahan di sana.
Nasib anak-anak Situasi tidak membaik, 11 tahun sejak dimulainya perang saudara di Suriah, terutama bagi anak-anak, lapor organisasi Save the Children di Berlin, (15/3).
Sebagian besar masih hidup di bawah situasi darurat, menderita kelaparan, malnutrisi dan berbagai penyakit.
"Saat ini semua mata tertuju ke Ukraina,” kata Direktur Save the Children di Suriah, Sonia Khush.
Baca Juga: Kanselir Jerman dan Presiden Turki Desak Gencatan Senjata di Ukraina
"Tapi kita harus berupaya agar anak-anak di Suriah tidak dilupakan,” katanya.
Menurut PBB, sebanyak 6,5 juta anak-anak Suriah membutuhkan bantuan kemanusiaan.
UNICEF melaporkan perang sudah menewaskan 13.000 anak-anak. Sebagian tercatat menjadi korban ranjau.
Mereka yang hidup mengidap gangguan psikologis akibat trauma perang. Tanpa perbaikan situasi, angka kematian anak-anak di Suriah belum akan menurun.
"Sebanyak lima juta anak-anak dilahirkan di Suriah sejak 2011,” kata Direktur UNICEF di Suriah, Bo Viktor Nylund.
"Dalam hidupnya mereka hanya mengenal perang. Di banyak tempat di Suriah, mereka hidup di bawah ancaman kekerasan, ledakan ranjau atau sisa bom yang belum meledak.” rzn/as (ap,epd,unicef)