"Pemilu dianggap sebagai penghambat pertumbuhan ekonomi dan pelayanan publik (kontradiktif dengan argument Pilkada 2020). Pemilu tidak kompatibel dengan kemajuan ekonomi dan stabilitas politik (kontradiktif dengan Pemilu 1999 yang dipercepat sebagal upaya menjaga stabilitas politik). Pemilu membenani negara," paparnya
Lanjut Titi, bahwa narasi yang disampaikan juga mengerdilkan suara rakyat oleh suara netizen.
"Suara rakyat dikerdilkan oleh "suara netizen" yang tidak transparan dan akuntabel," kata dia.
Titi melanjutkan, bahwa teknologi digital juga digunakan elit politik untuk membenarkan opini pejabat publik dan bukanlah mendorong partisipasi publik yang lebih bermakna.
"Teknologi digital digunakan untuk membenarkan opini pejabat publik, namun kemajuan teknologi tidak digunakan dalam mendorong partisipasi yang lebih bermakna dalam pembuatan kebijakan (UU KPK, UU Cipta Kerja, UÚ Minerba, UU MK, dan lain-lain," katanya.