Suara.com - Setidaknya 40 negara Afrika mencetak uang mereka di Inggris, Prancis, dan Jerman beberapa dekade setelah kemerdekaan. Berikut laporan DW mengenai mengapa mereka mengalihdayakan produksi mata uang.
Pada Juli lalu, delegasi dari Gambia mengunjungi Bank Sentral Nigeria untuk menanyakan apakah mata uang dalasi Gambia dapat dipesan dari negara tetangganya di Afrika Barat.
Gubernur Bank Sentral Gambia, Buah Saidy, mengatakan negaranya kehabisan mata uang nasional. Negara kecil di Afrika Barat itu harus mendesain ulang mata uangnya setelah kekalahan mantan Presiden Yahya Jammeh, yang memerintah Gambia dari tahun 1994 hingga dia dipaksa ke pengasingan setelah menolak menerima kekalahan dalam pemilu 2016.
Jammeh, yang dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia dan pembunuhan lawan politik selama 22 tahun masa pemerintahannya, memiliki gambar dirinya di uang kertas negara.
Setelah penggulingannya, Bank Sentral Gambia mulai menghancurkan gambar-gambar itu. Sekarang, dalasi memiliki gambar seorang nelayan yang mendorong sampannya ke laut, seorang petani yang merawat sawahnya, dan cipratan burung-burung asli yang berwarna-warni.
Mengalihdayakan pencetakan uang tunai Namun, satu masalah tetap ada: Gambia tidak mencetak mata uangnya sendiri.
Mereka memesannya dari perusahaan-perusahaan Inggris, yang mengakibatkan kekurangan uang tunai.
Gambia tidak sendirian dalam mencetak uangnya di negara lain. Lebih dari dua pertiga 54 negara Afrika mencetak uang mereka di luar negeri, kebanyakan di Eropa dan Amerika Utara.
Hal itu terjadi saat Uni Afrika sedang mencoba untuk mengantarkan era emas buatannya yang seharusnya membuat Afrika meningkatkan produksi dan menikmati keuntungan yang lebih besar.
Baca Juga: Gantikan Gas Rusia, AS dan Uni Eropa Sepakati Pemasokan Gas Cair
Perusahaan teratas yang bermitra dengan bank sentral Afrika diantaranya adalah raksasa percetakan uang kertas Inggris De La Rue, Crane, yang berbasis di Swedia, dan Giesecke+Devrient, Jerman. Apakah itu benar-benar masalah?