Suara.com - Taliban kembali menetapkan serangkaian aturan represif dan mengusir media asing dari Afganistan. Namun haluan garis keras itu membibit antipati pada generasi muda yang ingin membuka diri bagi dunia internasional.
Sejak Taliban kembali berkuasa baru-baru ini, remaja perempuan di Afganistan tidak lagi bisa bersekolah, perempuan dewasa dilarang menaiki pesawat tanpa muhrim, sementara laki-laki atau perempuan dikenakan jadwal terpisah untuk mengunjungi taman kota.
Pembatasan dan kekangan bagi kebebasan sosial di Afganistan itu diputuskan dalam sebuah pertemuan selama tiga hari pada pekan lalu di Kandahar, kota kelahiran Taliban, lapor pejabat senior Taliban seperti dikutip Associated Press.
Pemimpin spiritual Haibatullah Akhundzada mengumpulkan petinggi Taliban di kota itu, dan menetapkan haluan baru dengan model Syariah, yang mengingatkan orang pada masa awal kekuasaannya pada awal 1990an.
Pada masa itu, Taliban memberlakukan Syariah Islam secara brutal, yang diwarnai dengan eksekusi massal di stadion olarhaga atau penghancuran benda serta artefak peninggalan sejarah.
Senin (28/3), pemerintah di Kabul mencabut izin operasi bagi media-media luar negeri, antara lain BBC dan Deutsche Welle.
Nantinya, media lokal seperti ToloNews tidak lagi dapat menyiarkan atau memancar ulangkan konten-konten dari media internasional.
"Fakta bahwa Taliban mengkriminalkan distribusi program-program DW oleh media mitra kami justru menghalangi pembangunan berkesinambungan di Afganistan,” kata Direktur DW, Peter Limbourg.
Gesekan internal Langkah Taliban membatasi pendidikan menengah dan tinggi bagi perempuan melanggar komitmennya kepada dunia internasional.
Baca Juga: Temui Perwakilan Taliban, Menlu Retno Sampaikan Pentingnya Pendidikan Buat Perempuan Afghanistan
Sejumlah negara, termasuk Indonesia, sebelumnya sepakat akan mengirimkan bantuan pembangunan, antara lain dengan jaminan terbukanya akses pendidikan bagi perempuan.