Suara.com - Di beberapa negara di Asia Selatan, perilaku suami yang memperkosa istrinya adalah tindakan yang legal. Gerakan feminis Pakistan hadapi tantangan dalam mengungkap kekerasan seksual yang dirahasiakan.
Sejak aksi damai pertama pada tahun 2018, perjuangan untuk hak-hak perempuan telah tumbuh menjadi gerakan skala besar di Pakistan, negara yang menjunjung budaya patriarki. Kaum feminis Pakistan tak henti-hentinya mengkampanyekan hak otonomi tubuh, ruang publik yang lebih aman, dan diakhirinya kejahatan seksual dengan kekerasan.
Kampanye seperti #MeToo dan #TimesUp juga telah memberikan perempuan lebih banyak platform publik, untuk mengekspos pelecehan dan kekerasan seksual. Namun, kaum feminis Pakistan tampaknya ragu-ragu dalam menangani masalah pemerkosaan dalam perkawinan, di mana seorang suami memaksa istrinya melakukan aktivitas seksual di luar kehendaknya.
Pakistan tetap menjadi salah satu dari 36 negara yang belum secara eksplisit mengkriminalisasi pemerkosaan dalam pernikahan. Negara lainnya yang juga belum mengatur KDRT semacam itu antara lain Bangladesh, Afghanistan dan India.
Ambiguitas hukum perkosaan dalam pernikahan
Sebagai preseden hukum yang positif, antara lain keputusan pengadilan di negara bagian Karnataka, India baru-baru ini, yang menolak untuk membatalkan kasus pemerkosaan yang diajukan oleh seorang istri terhadap suaminya.
Langkah pengadilan di India itu, telah memberikan harapan bahwa perdebatan tentang pelarangan pemerkosaan dalam pernikahan akan terus berlanjut. "Pemerkosaan adalah pemerkosaan, baik itu dilakukan oleh laki-laki, 'suami', pada perempuan, 'istri'," kata hakim.
Meskipun langkah tersebut tidak menghapus "pengecualian pernikahan" yang mendefinisikan pemerkosaan dalam hukum India, keputusan itu akan mengharuskan suami untuk diadili dalam kasus tunggal ini. Di Pakistan, situasi hukum pemerkosaan dalam pernikahan tidak jelas. Pada tahun 1979, hukum Pakistan mendefinisikan pemerkosaan sebagai seks paksa di luar pernikahan.
Pada tahun 2006, RUU untuk melindungi perempuan diperkenalkan, yang mendefinisikan ulang pemerkosaan sebagai seks tanpa persetujuan perempuan. Meskipun definisi ini berpotensi menjadikan pemerkosaan dalam pernikahan sebagai kejahatan yang dapat dihukum, tidak ada penyebutan khusus tentang pernikahan dalam perubahan tersebut. KUHP yang disahkan tetap ambigu.
Baca Juga: Nawal El Saadawi, Tokoh Feminis yang Berani dan Berbahaya Tutup Usia
Sara Malkani, seorang pengacara pengadilan tinggi di Pakistan, mengatakan kepada DW, "tidak ada hukuman yang diketahui atas dasar pemerkosaan dalam perkawinan" di Pakistan. Dia menambahkan bahwa pengaduan resmi tentang pemerkosaan dalam pernikahan sangat sedikit dan jarang.