Lebih lanjut, Alfindra menuturkan hasil riset menyatakan sebanyak 80 persen responden mendukung berbagai macam sumber dana bantuan korban kekerasan seksual.
Dana tersebut berasal dari dana pendapatan negara bukan pajak (PNBP), dari perusahaan sebagai bentuk tanggungjawab sosial dan lingkungan perusahaan. Lalu berasal dari apabila harta kekayaan terpidana yang disita tidak mencukupi biaya restitusi diberikan oleh negara melalui dana bantuan korban.
Selain itu dananya bisa berasal dari dana filantropi maupun hasil secara kolektif dari masyarakat.
Kata Alfindra, 91 persen responden mendukung dana pendapatan negara bukan pajak (PNBP) digunakan untuk dana bantuan untuk korban kekerasan seksual.
"91 persen responden mendukung bahwa PNPB digunakan untuk dana bantuan untuk korban KS. Kita lihat macam-macam sumber ini disetujui, bahkan dana yang dikumpulkan secara kolektif dari masyarakat pun menjadi opsi untuk memberikan bantuan untuk korban kekerasan seksual," papar Alfindra.
Lebih lanjut, dalam hasil riset menyebutkan lebih dari 95 persen responden mendukung pasal yang terkait dengan perlindungan korban, pembunuhan korban dan pemulihan korban setelah proses keadilan.
"Ahamdulillah lebih dari 95 persen mendukung pasal ini. Memang undang-undang TPKS sesuatu yang sangat dibutuhkan dan sepertinya akan dirasakan sekali manfaatnya oleh masyarakat," katanya.
Sebagai informasi, survei dilakukan dengan melibatkan 1.200 responden di 20 kota dan kabupaten yang dipilih berdasarkan penyebaran geografis, jumlah penduduk dan jumlah kasus kekerasan seksual sebagaimana yang direkomendasikan oleh LSM yang menangani kasus kekerasan seksual di Indonesia yaitu INFID, SETARA, Komnas Perempuan dan LSM Mitra INFID.
Adapun proses pengumpulan data dilakukan pada bulan April-Mei 2022 atau setelah pengesahan UU TPKS pada 12 April 2022.
Baca Juga: Wenny Ariani Tagih Janji Rezky Aditya Lakukan Tes DNA, 2 Bulan Lebih Tak Ada Kabar