Suara.com - Ulil Amri Nasiruddin, mahasiswa PhD asal Indonesia, biasanya akan mampir salat Zuhur di musala dekat kampus Monash University di Clayton, Melbourne, sebelum melakukan risetnya.
Tapi beberapa waktu lalu, Ulil ingin mencoba salat di fasilitas ruang ibadah lintas-agama atau 'multi-faith' yang terletak tepat di tengah kampus.
"Saya melihat kondisinya sudah mulai kayak gudang dan ruangannya yang kecil semakin sempit," katanya kepada Farid Ibrahim dari ABC Indonesia.
"Pas masuk waktu salat, kondisinya langsung ramai, membludak. Ruangannya tidak bisa menampung karena sangat kecil," katanya.
Kondisi seperti ini, menurut Wakil Ketua Monash University Islamic Society (MUIS) Fatima Ramtoola, sudah disampaikan ke pihak rektorat sejak lama.
"Kami telah meminta ruang ibadah yang lebih besar sejak tahun 2018," katanya kepada program ABC Radio Melbourne.
Ruang ibadah lintas agama itu hanya dapat menampung maksimal delapan jemaah pria dan delapan jemaah perempuan.
Padahal menurut MUIS, rata-rata 260 orang membutuhkan ruangan tersebut untuk salat.
Selama pandemi COVID-19, kapasitas ruangan ini bahkan dikurangi menjadi maksimal lima orang.
Baca Juga: Prajurit Kopassus Bertanya Hukum Salat yang Terlewat karena Latihan, Ini Jawaban Cerdas Gus Baha
Menurut pengalaman Ulil, setiap kali waktu salat, dia selalu mendapati jemaah yang membludak.
BERITA TERKAIT
Kinerja J Trust Bank Tumbuh Positif di Kuartal I 2025: Catat Laba Bersih Rp87 M
29 April 2025 | 01:48 WIB WIBREKOMENDASI
TERKINI