Sidang etik kemudian dilanjutkan terhadap AKP Dyah Chandrawathi. Ia dijatuhi sanksi mutasi bersifat demosi selama 1 tahun.
Sanksi yang sama juga dijatuhkan kepada pelanggar etik Bharada Sadam dan Briptu Firman Dwi Ardiyanto. Sementara itu, Brigadir Frillyan Fitri Rosadi dijatuhi sanksi demosi selama 2 tahun.
Berikutnya, komisi etik Polri menjatuhkan sanksi meminta maaf kepada institusi dan pimpinan Polri kepada AKBP Pujiyarto.
Lalu pada Kamis (15/9/2022), sidang etik digelar terhadap Ipda Arsyad Daiva Gunawan digelar. Namun, pembacaan putusan sidang Ipda Arsyad ditunda karena salah satu saksi kunci tidak dapat hadir dengan alasan sakit.
Putusan sidang etik Ipda Arsyad Daiva Gunawan diagendakan berlangsung pada hari Senin (26/9/2022) mendatang. Hal serupa juga terjadi dalam sidang etik Brigjen Pol. Hendra Kurniawan.
Sidang etik Hendra Kurniawan ikut ditunda karena alasan saksi atas nama AKBP Arif Rahman Arifin sedang sakit.
Penundaan sidang etik itu pun memunculkan anggapan Polri mengulur-ulur waktu. Hal ini dikatakan oleh Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto.
Menurutnya, Polri mengulur-ulur waktu karena tidak segera menuntaskan sidang etik terhadap tujuh tersangka obstruction of justice. Dari tujuh tersangka, baru empat orang yang menjalani sidang, sedangkan sisanya tiga orang belum disidang.
Bambang mengkritisi pelaksanaan sidang etik yang ditunda. Ia menilai ada jeda untuk tersangka obsrtuction of justice yang diseling dengan sidang etik pelanggar sidang dan ringan. Apalagi, para terduga pelanggar mengajukan banding atas putusan PTDH.
Hal itu dinilai diartikannya Polri seolah mengulur-ulur waktu. Bambang juga menilai Polri memainkan kepercayaan publik yang baru saja meningkat atas upaya kepolisian mengungkap kasus Brigadir J.