Sejarah Tragedi Rumoh Geudong, Saksi Bisu Kasus Pelanggaran HAM Berat

Rifan Aditya Suara.Com
Selasa, 27 Juni 2023 | 11:55 WIB
Sejarah Tragedi Rumoh Geudong, Saksi Bisu Kasus Pelanggaran HAM Berat
Lokasi Rumoh Geudong setelah diratakan untuk dilakukan kick off penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat, di Pidie, Kamis (22/6/2023) (ANTARA/Mira Ulfa)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Rumoh Geudong disebut-sebut dalam sejarah HAM Indonesia sebagai tempat terjadinya pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) pada masa lalu. Terungkapnya sejarah tragedi Rumoh Geudong terjadi pasca pencabutan Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh pada tahun 1998 telah meninggalkan luka mendalam bagi masyarakat Aceh, khususnya di Kabupaten Pidie.

Mengutip kontrasaceh.or.id, bangunan Rumoh Geudong mengacu pada rumah pusaka uleebalang (bangsawan) dalam bentuk panggung tradisional dan memiliki sejarah yang cukup panjang selama konflik Aceh, terutama pada saat pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM) pada tahun 1989-1998.

Rumoh Geudong menjadi salah satu Pos Satuan Taktis dan Strategis (Pos Sattis), di mana militer menjadikannya tempat penahanan bagi puluhan pria dan wanita yang dituduh terlibat dalam kelompok yang mereka sebut Gerakan Gangguan Keamanan (GPK) atau yang kemudian dikenal sebagai Aceh Merdeka (GPK-AM).

Selain itu, Rumoh Geudong juga menjadi tempat di mana 78 orang yang diduga terlibat dalam GAM dieksekusi dan disiksa. Aparat Komando Pasukan Khusus (Kopassus) mulai menyiksa tahanan dengan menyalakan musik sedemikian rupa sehingga jeritan sedih semua korban penyiksaan tidak terdengar.

Perempuan yang diduga berafiliasi dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), baik sebagai istri, anak, atau keluarga, akan difoto di Rumoh Geudong. Kemudian foto-foto para wanita dicetak dan ditempelkan di pohon-pohon di hutan dengan kalimat seperti "Tolong" atau "Jemput saya." Hal ini dilakukan agar GAM di pegunungan akan turun dan menyerah.

Penyiksaan yang dilakukan aparat terhadap masyarakat tidak hanya berupa penderitaan fisik tetapi juga penyiksaan psikologis dan farmakologis. Pihak berwenang melakukan penyiksaan fisik, seperti merendam korban dalam air laut, disiksa dengan sengatan listrik, digantung, dan dipukuli.

Secara psikologis, korban dikurung di ruangan gelap, dilecehkan secara seksual, diperkosa, dan ditelanjangi, menyebabkan korban mengalami penderitaan moral. Sementara itu, penyiksaan farmakologis dilakukan dengan memaksa korban minum obat, menyebabkan kemurungan dan depresi, kelumpuhan, sesak napas, peradangan hati, kejang otot, dan lain-lain.

Tragedi ini tidak lepas dari peran 'cuak' atau mata-mata yang digunakan aparat untuk menyatukan gerakan warga. Orang-orang juga takut dan khawatir bahwa mereka akan menjadi mangsa cuak.

Mereka takut dituduh dan kemudian melapor ke Kopassus, yang menyebabkan mereka ditangkap dan ditahan di Rumoh Geudong. Ketika mereka dibawa ke Rumoh Geudong, yakin bahwa warga telah mengalami tindakan kekerasan oleh pasukan keamanan yang berbasis di sana.

Baca Juga: DPR Geram, Bukti Pelanggaran HAM Malah Dihancurkan Jelang Kedatangan Presiden Jokowi

Konflik dan kekerasan yang berkepanjangan di Aceh membuktikan bahwa strategi pemerintah Indonesia tidak berhasil. Selama pelaksanaan DOM tahun 1989-1998, banyak pelanggaran HAM yang terjadi dan berdampak negatif bagi masyarakat Aceh.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI