Ada hal yang perlu diingat, jenazah di Desa Adat Terunyan tidak dikubur, hanya diletakkan di atas tanah. Begitulah warga Desa Adat Terunyan menjalankan tradisi. Masatya yang dimaknai sebagai penghormatan terakhir untuk almarhum.
Tradisi Masatya adalah waktu terbukanya portal larangan. Kaum perempuan dari anak-anak sampai nenek-nenek dilarang masuk kuburan Desa Adat Terunyan. Warga mempercayai, jika perempuan ke kuburan, maka perempuan itu akan menguasai magis ilmu Leak.
"Saat 12 hari setelah Ngaben, atau namanya ngerorasin, perempuan boleh ke kuburan. Baik itu anak-anak sampai tua. Di kuburan dilaksanakan upacara Masatya, memberi penghormatan terakhir kepada leluhur yang diaben," ujar Jro Baskara.
"Tata caranya menaruh gibungan (makanan) dari pintu masuk kuburan sampai samping mayat. Saat masuk kuburan, semua keluarga mengambil makanan gibungan ini untuk dimakan. Begitu juga saat keluar dari area kuburan, ambil makan lagi," tuturnya.
"Hanya saat itu perempuan diizinkan ke kuburan melihat sepuasnya. Masatya adalah bentuk keyakninan bahwa rasa ikhlas kami menghabiskan biaya besar dalam upacara ngaben agar tidak diragukan. Simbolnya makan di kuburan yang sebenanrnya tidak etis, tapi kami melakukan dengan tulus," paparnya.
Desa Adat Terunyan memiliki tiga kuburan dengan fungsinya masing-masing. Dari semua itu, hanya satu yang misterinya sampai pada kesimpulan semua berkat pohon Taru Menyan. Pohon tersebut tumbuh di area kuburan bernama Sema Wayah.
Mayat-mayat warga Desa Adat Terunyan di Sema Wayah hanya digeletakkan saja. Dalam istilah lokal disebut Mapasah. Mayat hanya dipasang pagar bambu bernama ancak saji. Dari arah pintu masuk kuburan, mayat-mayat itu berjejer di sebelah kiri pohon besar Taru Menyan.
Sedangkan di tengah-tengahnya, tengkorak manusia dirangkai menumpuk. Sisa sajen pun menggunung. Suara lalat yang menghinggapi jenazah masih terdengar di antara riuh daun tertiup angin danau.
Ajaibnya, bau busuk mayat manusia di Sema Wayah tak tercium. Warga meyakini, aroma busuk netral oleh Taru Menyan. Pohon Taru Menyan itu juga yang menjadi cikal bakal nama Desa Terunyan.
Baca Juga: Kemensos Kirimkan Bantuan untuk Pendirian Lumbung Sosial di Trunyan Bali
"Pohon Taru Menyan hanya ada satu di Sema Wayah. Di kuburan lainnya tidak ada. Pohon ini sudah ada sebelum desa kami ada. Nama desa kami diambil dari nama pohon itu," jelas Jro Baskara.
"Total ada enam kuburan di desa ini, namun yang unik tiga kuburan. Walupun ada beberapa dusun menguburkan mayat, namun yang paling beda yang sering dikunjungi wisatawan yaitu Sema Wayah. Mayat di Sema Wayah tidak ada yang berbau," ungkapnya.
Sema Wayah difungsikan untuk memakamkan jenazah warga adat yang meninggal dalam kondisi normal secara fisik, dan sudah dewasa serta telah berkeluarga. Sema Wayah adalah satu-satunya kuburan yang dibuka untuk wisatawan.
Dua kuburan lainnya adalah Sema Nguda dan Sema Bantas. Jro Baskara mengatakan, Sema Nguda adalah kuburan yang difungsikan untuk memakamkan jenazah bayi dan warga yang meninggal muda atau orang dewasa yang belum menikah.
Di sini ada dua tata cara penguburan. Khusus bayi yang belum tanggal gigi, mayatnya akan dikubur di kaki bukit. Sedangkan mayat warga yang belum menikah hanya diletakkan di atas tanah. Karena tak ada Taru Menyan, tentu bau busuk tericum menyegat di kuburan ini.
Sema Bantas merupakan kuburan khusus untuk memakamkan warga adat yang meninggal karena kecelakaan, bunuh diri, atau dalam kondisi cacat fisik.