Meski desa ini tradisional, warga sangat terbuka. Mereka ramah menyapa setiap yang datang. Wisatawan domestik maupun mancanegera terlihat lalu lalang. Ada yang naik dan turun bukit setelah mendaki. Ada yang langsung menju dermaga untuk menyeberang ke destinasi.
![Pemuka Agama di Desa Adat Terunyan, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli, Jro Baskara. [Suara.com/Binar Sebaya]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2023/07/01/13882-pemuka-agama-di-desa-adat-terunyan-kecamatan-kintamani-kabupaten-bangli-jro-baskara.jpg)
Begitu juga saat ritual-ritual tertentu. Tak hanya warga lokal, mereka yang dari luar desa juga ramai datang untuk melihat. Wisatawan sudah pasti. Namun syaratnya, pengunjung harus sopan dan respek dengan tanah yang mereka injak.
Menyantap Hidangan di Samping Jenazah
Warga Terunyan bukan orang-orang primitif, namun cenderung konservatif. Mereka hidup berpegangan pada filosofi Gugon Tuwon. Dengan kata lain, narasi-narasi yang diwariskan leluhur adalah hal yang harus dilanjutkan.
Puncak validasi rasa hormat dan ketulusikhlasan, ada pada tradisi Masatya. Tradisi yang dilakukan tepat 12 hari setelah upacara Ngaben. Seluruh anggota keluarga tak ragu-ragu menyantap hidangan yang diletakkan berjejer dari pintu masuk kuburan hingga samping jenazah.
Ada hal yang perlu diingat, jenazah di Desa Adat Terunyan tidak dikubur, hanya diletakkan di atas tanah. Begitulah warga Desa Adat Terunyan menjalankan tradisi. Masatya yang dimaknai sebagai penghormatan terakhir untuk almarhum.
Tradisi Masatya adalah waktu terbukanya portal larangan. Kaum perempuan dari anak-anak sampai nenek-nenek dilarang masuk kuburan Desa Adat Terunyan. Warga mempercayai, jika perempuan ke kuburan, maka perempuan itu akan menguasai magis ilmu Leak.
"Saat 12 hari setelah Ngaben, atau namanya ngerorasin, perempuan boleh ke kuburan. Baik itu anak-anak sampai tua. Di kuburan dilaksanakan upacara Masatya, memberi penghormatan terakhir kepada leluhur yang diaben," ujar Jro Baskara.
"Tata caranya menaruh gibungan (makanan) dari pintu masuk kuburan sampai samping mayat. Saat masuk kuburan, semua keluarga mengambil makanan gibungan ini untuk dimakan. Begitu juga saat keluar dari area kuburan, ambil makan lagi," tuturnya.
Baca Juga: Kemensos Kirimkan Bantuan untuk Pendirian Lumbung Sosial di Trunyan Bali
"Hanya saat itu perempuan diizinkan ke kuburan melihat sepuasnya. Masatya adalah bentuk keyakninan bahwa rasa ikhlas kami menghabiskan biaya besar dalam upacara ngaben agar tidak diragukan. Simbolnya makan di kuburan yang sebenanrnya tidak etis, tapi kami melakukan dengan tulus," paparnya.