Suara.com - Para ahli yang hadir dalam sidang atas gugatan eks anggota DPRD Kabupaten Badung, I Made Dharma, SH dan kawan - kawan di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar akhirnya mementahkan beragam dalil I Made Dharma, SH dan kawan-kawan.
Saksi yang dihadirkan pihak Tergugat pada tanggal 14 Agustus 2023, yakni Ahli Hukum Adat Bali Dr. Ketut Sudantra, S.H., M.H., dengan kesaksian Ahli Hukum Agraria Prof. Dr. Aslan Noor, S.H., M.H. C.N., saling bersesuaian untuk menguatkan dalil hukum dari pihak Tergugat yang secara tegas menolak semua dalil – dalil gugatan Penggugat.
Kesaksian Ahli Hukum Adat Bali Dr. Ketut Sudantra, S.H., M.H.,yang membuktikan bahwa perkawinan nyentana tidak pernah ada atau tidak mungkin terjadi, adalah karena satu keluarga tidak memiliki anak laki – laki, sedangkan Ni Wayan Rumpeng memiliki empat orang saudara laki – laki, dan I Riyeg terbukti memiliki tiga orang istri yang tidak mungkin melakukan perkawinan nyentana, demikian juga pihak Penggugat sebagai ahli waris Ni Wayan Rumpeng sama sekali tidak pernah memenuhi kewajiban atas warisan dari I Wayan Riyeg untuk palemahan, parahyangan dan pawongan, hanya para Tergugat yang menjaga, memelihara dan membiayai setiap odalan di Pura Dalem Balangan dari dahulu sampai sekarang, ditambah kesaksian para saksi juga, sanggah kemulan untuk memuja roh leluhur (Dewa Hyang) I Riyeg, dan semua turunannya berada di rumah para Tergugat, bukan di rumah para Penggugat I Made Dharma, dkk.
Ambil contoh Prof. Dr. Aslan Noor, S.H., M.H. C.N., yang menyatakan bahwa berdasarkan ketentuan terkait tanah. Apabila gugatan didasarkan atas perkawinan Nyentana yang tunduk pada hukum adat Bali, maka gugatan tersebut akan gugur karena hukum adat akan tidak bisa atau tidak mampu melawan hukum negara Pasal 5 UU No. 5 Tahun 1960/UUPA, sehingga hukum adat Bali hanya dapat diberlakukan sepanjang tidak bertentangan dengan hukum nasional.
Artinya, hukum adat hanya dapat diberlakukan dalam tiga hal. Yakni setiap ahli waris setuju untuk diberlakukan hukum adat dalam pembagian waris, setiap ahli waris harus ada hubungan darah dari laki-laki saja (patrilineal), dan pengadilan harus mengutamakan hukum nasional dibandingkan hukum adat Bali terkait dengan silsilah ahli waris yang dihubungkan dengan perkawinan nyentana yang tidak memiliki bukti dan harta warisannya. Dengan demikian, semua nama-nama yang tercantum dalam pipil, nama itulah yang mewarisi berdasarkan keturunan sedarah.
Sedangkan menarik garis waris berdasarkan perkawinan nyentana yang bukan berdasarkan garis keturunan laki-laki (purusa). Maka garis waris yang ditarik dari perempuan tidak memiliki hak waris semestinya apalagi yang dimuat dalam pipil adalah berdasarkan penarikan waris laki-laki dan telah nyata-nyata dimuat dalam pipil, maka turunan sedarahlah yang memperoleh harta warisan bukan berdasarkan garis waris berdasarkan hukum adat. Di mana Nyentana yang tidak memiliki bukti telah memenuhi kewajibannya dalam 3 swadharma parahyangan, palemahan dan pawongan dari ahli waris yang mengklaim adanya perkawinan nyentana tersebut.
Ditambahkan oleh Ahli Hukum Agraria dan Perundang – Undangan Prof. Dr. Aslan Noor, S.H., M.H. C.N., Perbuatan Melawan Hukum Perdata tidak dapat disamakan dengan Perbuatan Melawan Hukum Pidana, sehingga Perbuatan Melawan Hukum dalam ranah pidana tidak dapat menjadi objek persidangan perdata, apalagi sampai diputus oleh peradilan perdata, karena ini menyangkut ketentuan tentang kompetensi absolut, yaitu kewenangan substansi yang membedakan jenis peradilan di Indonesia, yang menganut pembagian bidang hukum.
Gugatan dengan tuduhan pemalsuan silsilah keluarga, tindakan intimidasi dan adu domba tidak dapat diperiksa dan diputus dalam kamar atau ruang lingkup peradilan perdata, karena substansi pidana tidak tepat jika diproses pada peradilan perdata, karena melanggar kompetensi absolut sebagaimana digagas oleh konsep tree of law.
Dengan berlakunya UU 5/1960, satu-satunya pemilik asal yang diakui hanyalah nama yang terdapat di dalam pipil sebagai alas hak (bukti awal) untuk ditegaskan menjadi hak milik atas nama yang ada di dalam pipil tersebut, dan tidak berlaku land record atau rekaman-rekaman nama apapun yang tidak diakui sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ketentuan konversi UU 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok – Pokok Agraria.
Baca Juga: Niat Puasa Weton Anak, Ini Cara Berpuasa yang Benar dan Hukumnya dalam Islam
Sebagaimana ditegaskan pula oleh Pasal 24 PP 24/1997 terkait keabsahan bukti hak – hak lama, yaitu yang diakui adalah pipil sebagaimana diatur dalam Pasal 76 PMA 3/1997 tentang pelaksanaan PP 24/1997 tentang pendaftaran tanah. Jadi, ahli waris yang berhak atas tanah yang terdaftar dalam pipil, tidak lagi ada lagi kaitan dengan hukum waris adat Bali seperti adanya nyentana, namun harus tunduk pada sistem KUHPerdata yaitu adanya hubungan darah berdasarkan garis keturunan laki-laki dari derajat satu yang tak terbatas sampai dengan kesamping untuk derajat dua, sebagaimana diatur dalam PP 37/1998.