Mengantongi lebih dari 12.000 jam terbang, membuat Meki hampir melintasi langit di seluruh wilayah Indonesia. Terlebih kampung halamannya sendiri, yakni Papua.
Selama menjadi penerbang, hati Meki tergerak menginginkan untuk berkontribusi membangun Paniai.
Meki menginginkan adanya pembangunan lebih baik di Paniai, salah satunya perihal konektivitas. Meki melihat begitu susahnya konektivitas manusia dalam berkegiatan sehari-hari. Bahkan, anak kecil sampai harus menggunakan pesawat untuk bersekolah ke kampung seberang lantaran kampungnya tidak ada sarana pendidikan.
Kondisi tersebut tentu membuat miris. Belum lagi fasilitas kesehatan yang juga belum merata, membuat mereka yang sakit atau ibu mengandung harus bolak-balik menggunakan pesawat kecil hanya untuk berpindah dari distrik satu ke distrik lain.
"Jadi di situ lah saya cerita sama istri saya, kita coba maju jadi bupati, kita coba bangun buat sesuatu yang berbeda," kata Meki.
Pesawat memang menjadi transportasi utama di wilayah tersebut mengingat wilayah itu yang dikelilingi perbukitan dan pegunungan.
Meki mencontohkan, bila perjalanan darat dari satu kampung ke kampung lain bisa memakan waktu hingga enam jam. Berbeda bila menggunakan pesawat yang hanya beberapa menit saja.
"Jadi orang Papua itu lahir langsung lihat pesawat. Tidak pernah lihat kapal, tidak pernah lihat mobil, orang kaya. Jadi kita termasuk orang kaya karena kita langsung naik pesawat langsung terbang," kelakar Meki.
Pencapaian Meki menjadi seorang pilot lewat pendidikan di sekolah tidak membuatnya lupa tanah air. Meki membuktikan kecintaannya terhadap tanah Papua dibuktikan saat dia menolak bekerja sebagai pilot di Australia.
Meki beralasan, penolakan bekerja di Australia lantaran ia lebih ingin menjadi pilot dengan menerbangkan pesawat di rute perintis di tanah kelahiran. Meki ingin menjadi contoh bagi anak-anak asli Papua bahwa mereka bisa menggapai mimpi, semisal Meki menjadi seorang penerbang.