“Itu barisnya (di kertas surat suara) banyak banget. Effort-nya cukup besar, saya harus angkat-angkat kertas suara (supaya terlihat jelas nama calonnya), harus ‘ngepasin’ gambar ke bantalan, itu cukup effort,” ungkap Ajiwan.
Padahal, DIY meraih penghargaan dari Kementerian Dalam Negeri RI atas keberhasilannya dalam menyampaikan laporan kelancaran penyelenggaraan Pemilu 2024 di daerah. DIY juga menjadi provinsi pertama di Indonesia alias inisiator yang menciptakan konsep template braille untuk pemilih disabilitas. Namun, di balik pencapaian gemilang ini, masih ada suara minoritas yang merasa terabaikan dalam proses pemungutan suara.
Dodi Kaliri, penyandang disabilitas fisik pengguna kruk asal Sleman, merasa penyelenggaraan Pemilu telah mengalami perbaikan dari waktu ke waktu. Meski demikian, Dodi melihat adanya kemunduran dalam hal transparansi data pemilih pada Pemilu kali ini.
Pada Pemilu sebelumnya, pemilahan data pemilih umum dan disabilitas sudah mulai dilakukan. Saat hari H pemilihan, ia juga menemukan kode khusus untuk disabilitas tercantum di Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang ditempel di dinding TPS. Hal ini memudahkan petugas untuk mengetahui jumlah dan ragam disabilitas pemilih di TPS tersebut, sehingga mereka bisa siap melayani sesuai kebutuhan. Namun, pada Pemilu 2024, data disabilitas tersebut justru tidak dimunculkan. Dodi menilai ini sebagai suatu kemunduran yang dapat menyebabkan miskomunikasi antara petugas di TPS pada hari pemungutan suara.

"Ketika data tidak dimunculkan ragam disabilitasnya, ini bisa menjadi persoalan. Iya kalau petugas TPS kenal dengan warganya, kalau yang tidak kenal, dia tidak akan tahu kebutuhan disabilitas apa," ungkap Dodi.
Misalnya ada seorang pemilih disabilitas tuli yang hadir di TPS. Jika petugas TPS tidak mengetahui keberadaan pemilih disabilitas tuli tersebut, mereka mungkin akan terus memanggil namanya untuk masuk ke dalam bilik, namun si pemilih tidak akan mendengar panggilan tersebut karena keterbatasan yang dimilikinya. Menurut Dodi, hal detail inilah yang sebaiknya diperhatikan betul oleh penyelenggara Pemilu untuk memberikan rasa adil bagi para penyandang disabilitas.
"Penyelenggaraan sudah relatif baik, hanya pemantauan masih kurang. Kalau lihat dari pelanggaran Pemilu dalam rangka Pemilu ramah difabel itu pelanggarannya lebih bayak di tingkat TPS," imbuhnya.
Ini dialami Inna Hanifah, seorang pemilih disabilitas tuli asal Gunungkidul, yang menceritakan betapa sulitnya menyalurkan suara. Selama ini, ia selalu dimasukkan ke dalam DPT umum, bukan DPT khusus disabilitas yang didata ragam disabilitasnya. Petugas pemutakhiran data yang datang ke rumahnya hanya mendata jumlah anggota keluarga yang sudah memenuhi usia pemilih tanpa menanyakan kebutuhan khusus Inna sebagai penyandang disabilitas. Secara fisik, Inna memang terlihat seperti pemilih umum tanpa kebutuhan khusus.
Kesulitan ini semakin terasa ketika ia baru pindah ke Gunungkidul beberapa tahun lalu; tidak ada warga yang mengenalnya, sehingga tidak ada yang mengetahui kebutuhan khususnya. Wanita berusia 41 tahun ini selalu didampingi oleh ibunya yang membantunya saat pencoblosan dan memberikan arahan.
“Kalau di daerah boro-boro ada identifikasi gitu, cuma didata dapat DPT aja tidak ada khusus disabilitas,” keluh Inna.