Pemilu Ramah Disabilitas Masih Jauh Panggang dari Api

Senin, 23 September 2024 | 11:58 WIB
Pemilu Ramah Disabilitas Masih Jauh Panggang dari Api
Pemilu Ramah Disabilitas - Pemilu Ramah Disabilitas Masih Jauh Panggang dari Api (Suara.com/Ema)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Belum Ada Data Induk Disabilitas

Terkait data disabilitas, Indonesia memang masih jauh dari kata ideal. Hingga saat ini, Indonesia belum memiliki satu data induk yang merekam jumlah dan ragam disabilitas di berbagai penjuru negeri. Setiap lembaga atau kementerian mengeluarkan data berdasarkan versi dan kebutuhan masing-masing.

Anggota Forum Disabilitas DIY Farid Bambang Siswantoro (Suara.com/Chyntia Sami)
Anggota Forum Disabilitas DIY Farid Bambang Siswantoro (Suara.com/Chyntia Sami)

Untuk wilayah DIY, Dinas Sosial mencatat sekitar 30 ribu penyandang disabilitas. Mereka yang terdata termasuk dalam kategori disabilitas yang memerlukan penanganan khusus, seperti gelandangan hingga pelaku atau korban kekerasan, sehingga membutuhkan layanan kesejahteraan sosial.

Berbeda dengan Dinas Kesehatan, yang mencatat data disabilitas berdasarkan masalah medis yang dimiliki dan kebutuhan medis. Sementara itu, KPU juga telah memiliki data disabilitas, namun data ini didasarkan pada disabilitas yang berusia di atas 17 tahun atau sudah menikah, serta bukan anggota TNI/Polri. Padahal, menurut estimasi BPS, jumlah difabel di Indonesia diperkirakan mencapai 8 persen dari total penduduk. Sementara itu, Bappenas memiliki estimasi yang berbeda, yaitu sekitar 14 persen dari jumlah penduduk seluruh Indonesia.

“Jadi, ketika kita menyebutkan berapa jumlah difabel, kisarannya berada antara 8-14 persen dari total penduduk di manapun posisinya,” kata anggota Forum Disabilitas DIY Farid Bambang Siswantoro.

Farid memerinci hitungannya terkait jumlah disabilitas di Yogyakarta. Berdasarkan data Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2015, jumlah proyeksi jumlah penduduk DIY sebanyak 4.126.444 jiwa. Apabila mengikuti perhitungan estimasi BPS jumlah disabilitas sebesar 8 persen dari total penduduk, maka jumlah disabilitas di DIY sebanyak 330.115 jiwa dari semua usia.

Hasil survei yang dilakukan oleh Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB Indonesia), Pusat Rehabilitasi Yakkum, dan Forum Masyarakat Pemantau Untuk Indonesia Inklusif Disabilitas (FORMASI Disabilitas) juga menjadi pembuktian bahwa masih banyak disabilitas yang tidak terakomodasi dalam Pemilu. Survei menunjukkan sebanyak 81 persen pemilih pemula disabilitas seluruh Indonesia berusia 17-21 tahun tidak terdaftar dalam DPT. Data ini didasarkan pada hitungan proyeksi data BPS Survei Long Form Sensus 2020 berdasarkan asumsi pertumbuhan linier dan setiap individu dari rentang usia 10-14 tahun dan 15-19 tahun bertambah satu tahun setiap tahunnya tanpa memperhitungkan faktor-faktor seperti kematian atau migrasi.

Data ini memperlihakan hak-hak disabilitas dalam menyuarakan suaranya di Pemilu belum bisa terakomodasi dengan baik oleh penyelenggara. Belum lagi temuan lain menunjukkan sebanyak 70 persen di antaranya masih terdaftar sebagai pemilih biasa, bukan sebagai pemilih disabilitas.

"Ini menjadi poin penting yang harus menjadi perhatian bagi penyelenggara pemilu. Sangat dimungkinkan pemilih disabilitas mengalami hambatan untuk mengakses setiap tahapan proses pemilu karena masih terdata sebagai pemilih biasa," ujar Ajiwan, disabilitas netra yang juga menjadi staf SIGAB Indonesia.

infografis diskriminasi disabilitas di pemilu (Suara.com/Chyntia Sami)
infografis diskriminasi disabilitas di pemilu (Suara.com/Chyntia Sami)

Persoalan Pelik Disabilitas

Keterbukaan data bukanlah satu-satunya tantangan yang dihadapi oleh penyandang disabilitas dalam menyuarakan hak pilih mereka. Sebagai individu yang telah cukup umur atau sudah menikah, mereka belum tentu mendapatkan hak pilih dengan terdaftar di DPT. Temuan di lapangan menunjukkan bahwa masih banyak keluarga yang menganggap disabilitas sebagai aib, sehingga mereka cenderung menyembunyikan keberadaan anggota keluarga yang disabilitas. Hal ini berdampak pada ketidakakuratan dalam pendataan daftar pemilih.

Di lapangan juga masih ditemukan keluarga yang beranggapan bahwa penyandang disabilitas tidak perlu menyalurkan suara, cukup diwakili oleh anggota keluarga lainnya yang dianggap normal. Bahkan, ada pula individu disabilitas yang menolak disebut disabilitas karena tidak ingin dianggap sebagai seseorang dengan keterbatasan. Fenomena ini banyak terjadi, terutama di wilayah pedesaan dengan tingkat pemahaman tentang disabilitas dan hak suara masih rendah.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI