"Jadi, problem yang dihadapi disabilitas itu macam-macam. Sebagai pemilih belum tentu memiliki hak pilih (terdaftar dalam DPT), mereka yang sudah didata juga belum tentu bisa datang ke TPS (karena pertimbangan keluarga)" ungkap Farid.

Situasi semakin kompleks bagi penyandang disabilitas mental dan mereka yang tinggal di tempat rehabilitasi atau panti. Disabilitas mental harus menjalani pengobatan khusus sebelum diizinkan memberikan hak suara. Beberapa hari sebelum pencoblosan, mereka akan diberikan obat dan ditenangkan oleh petugas kesehatan, sehingga pada hari pencoblosan mereka siap secara mental. Farid, yang pernah menjadi anggota KPU DIY periode 2013-2019, mengakui bahwa menjamin hak suara bagi penyandang disabilitas mental bukanlah perkara mudah, terlebih bagi mereka yang tinggal di tempat rehabilitasi.
Farid bercerita bahwa pada Pemilu 2014 lalu, ia bersama penyelenggara KPU pernah berupaya memastikan pemilih disabilitas di Pusat Rehabilitasi Pundong dapat menyalurkan hak suaranya. Saat itu, ada 80 penyandang disabilitas yang telah didata dalam DPT dan terdaftar di TPS sekitar tempat rehabilitasi. Namun, meskipun telah terdaftar, pada hari pencoblosan mereka tidak dapat menyalurkan hak suaranya karena tidak ada petugas pendamping yang mendampingi mereka.
"Disana (pusat rehabilitasi) ada aturan manakala disabilitas keluar harus ada pendamping, sementara pendampingnya banyak yang libur menjadi panitia TPS. Hari H tersisa 5 orang pendamping dan 3 orang tukang kebun, nggak mungkin mendampingi (80 orang) keluar. Jadi, problemnya banyak," ungkapnya.
Farid menambahkan, data 80 orang disabilitas di tempat rehabilitasi tersebut hanya berasal dari satu lokasi saja. Padahal, di DIY terdapat banyak tempat rehabilitasi, baik milik pemerintah maupun swasta. Karena itu, sangat mungkin bahwa banyak penyandang disabilitas di DIY yang kehilangan hak suaranya di setiap Pemilu.
Dari TPS Tidak Ramah Disabilitas hingga Anggaran Terbatas
Koordinator Divisi Pencegahan, Partisipasi Masyarakat dan Hubungan Masyarakat Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, Lolly Suhenty menyampaikan adanya temuan sebanyak 12.284 TPS di Indonesia tidak menyediakan template braille, dan di 5.836 TPS ditemui pendamping pemilih disabilitas tidak menandatangani surat pernyataan sebagai pendamping.
Bawaslu memberikan rekomendasi kepada Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) agar melengkapi perlengkapan berupa alat bantu disabilitas netra di TPS dan memastikan pendamping pemilih penyandang disabilitas agar menandatangani surat pernyataan pendamping.
Selain itu, ditemukan sejumlah fakta di lapangan terkait Pemilu 2024, di mana kelompok marginal, termasuk disabilitas, tidak sepenuhnya terfasilitasi sebagai pemilih. Beberapa pemilih disabilitas tidak dicantumkan ragam disabilitasnya, pemilih di wilayah pemekaran menghadapi perbedaan dalam administrasi wilayah dan kependudukan sehingga yang dapat menyebabkan hilangnya hak pilih mereka.
Lolly menegaskan, mengabaikan kaum marginal yang memenuhi syarat sebagai pemilih adalah bentuk pelanggaran administrasi. Jika terdapat pengabaian terhadap hak pilih kaum marginal sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, Bawaslu menyampaikan saran perbaikan kepada KPU agar nama-nama pemilih yang memenuhi syarat tersebut dimasukkan ke dalam daftar pemilih.
“Jika KPU tidak menindaklanjuti saran perbaikan Bawaslu, Bawaslu menjadikan temuan dugaan pelanggaran administrasi, untuk selanjutnya dilakukan mekanisme penanganan pelanggaran,” ujar Lolly dalam wawancara tertulis.