Meraba Nasib Kurikulum Merdeka Belajar, Bakal Tamat di 'Tangan' Abdul Mu'ti?

Jum'at, 08 November 2024 | 13:55 WIB
Meraba Nasib Kurikulum Merdeka Belajar, Bakal Tamat di 'Tangan' Abdul Mu'ti?
Mendikdasmen Abdul Mu'ti. [Suara.com/Alfian Winanto]

Kritik keras juga datang dari Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI, Jusuf Kalla (JK) yang menyuarakan kritik tajam mengenai Kurikulum Merdeka, terutama terkait dampaknya pada jiwa kompetitif siswa.

Dalam sebuah acara peluncuran buku di Jakarta, JK menyampaikan bahwa penerapan kurikulum ini justru menghilangkan elemen kompetisi yang menurutnya penting untuk mendorong prestasi siswa.

“Kurikulum merdeka itu ndak cocok secara nasional. Bisa dilaksanakan terbatas satu sekolah, dua sekolah,” ujar JK.

Bahkan, ia menyoroti hilangnya sistem peringkat atau ranking yang menurutnya merupakan bagian dari proses yang membantu siswa berjuang mencapai kesuksesan.

"Apalagi hilangkan angka ranking-ranking. Ranking itu bagus untuk menjadi bagian daripada sukses sehingga dia bertarung untuk itu, untuk mendapatkan sukses nomor satu," kata JK.

Ia juga mengingatkan bahwa pendidikan seharusnya tidak hanya berisi penghargaan, tetapi juga hukuman yang mendidik.

"Pendidikan ini reward and punishment, kalau hanya semua reward tidak akan pernah terjadi disiplin," tambahnya.

Sementara di sisi lain, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) juga menyoroti sisi digitalisasi dalam kurikulum Merdeka Belajar.

Sekjen FSGI, Heru Purnomo, menilai penggunaan teknologi dalam pendidikan tanpa pengawasan ketat bisa menimbulkan masalah, seperti kasus siswa yang semakin mengandalkan internet untuk menyalin jawaban.

Baca Juga: Bakal Tingkatkan Kualifikasi hingga Kesejahteraan Guru, Mendikdasmen: Banyak Guru-Dosen Belum D4 dan S1

"Siswa cepat menyelesaikan tugas, tetapi karena platform digital. Nyatanya, mereka hanya menyalin dari internet tanpa pemahaman mendalam," tutur Heru.

Heru menyebutkan, meskipun digitalisasi penting, perbaikan mendesak dibutuhkan agar generasi muda tidak hanya cerdas teknologi, namun juga memiliki integritas dan keterampilan berpikir kritis.

FSGI bahkan menyatakan pesimis dengan peluang Indonesia mencapai generasi emas pada 2045 jika kualitas pendidikan terus menurun, mengingat skor PISA Indonesia yang masih jauh di bawah rata-rata negara-negara OECD.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI