Menurutnya ketakutan terbesar perempuan adat bukan hanya kehilangan tanah, tetapi juga ancaman kekerasan.
“Apalagi memiliki anak dan kita melihat anak kita disiksa, dipukul,” ungkapnya.
Dalam kesempatan yang sama, Andriyeni dari Solidaritas Perempuan menyoroti bagaimana kebijakan negara, termasuk PSN dan Undang-Undang Cipta Kerja yang dianggapnya semakin memperparah penderitaan perempuan.
“Kebijakan itu akan ada situasi penindasan, penggusuran, perampasan, dan berdampak serius,” ujar Andriyeni.
Menurutnya, negara menggunakan hukum sebagai alat untuk membungkam perlawanan.
“Rezim ini jahat, memakai hukum untuk menjustifikasi tindakan-tindakan demokratis yang dilakukan,” tegasnya.
Meskipun menghadapi berbagai bentuk diskriminasi, perempuan tetap berada di garis depan perlawanan. Mereka dengan tegas menolak jika dianggap tidak memiliki hak atas lahan.

“Dalam proyek-proyek seperti ini, perempuan tidak pernah dilibatkan, karena mereka menganggap perempuan tidak memiliki hak atas lahan,” ujar Lia.
Andriyeni menambahkan bahwa konflik agraria bukan hanya soal tanah, tetapi juga soal ketidakadilan sistemik yang menghancurkan kehidupan perempuan.
Baca Juga: Pakar Beberkan Resep Jitu Genjot Ekonomi, Pemerintah Harus Dukung Industri Padat Karya
“Konflik agraria ini selain merusak lingkungan juga merugikan perempuan. Ini menjadi kejahatan yang sistemik untuk menghancurkan kehidupan manusia,” katanya.