Komisi Hukum DPR Endus Ada Ketidakberesan Vonis Bebas Oknum Polisi di Kasus Pencabulan Anak Papua

Jum'at, 21 Maret 2025 | 15:40 WIB
Komisi Hukum DPR Endus Ada Ketidakberesan Vonis Bebas Oknum Polisi di Kasus Pencabulan Anak Papua
Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI Andreas Hugo Pareira. [suara.com/Ummi Hadyah Saleh]

Suara.com - Wakil Ketua Komisi XIII DPR RI Andreas Hugo Pareira menyoroti vonis bebas terhadap oknum polisi dalam kasus pencabulan anak di Kabupaten Keerom, Papua.

Ia menilai putusan pengadilan dalam kasus pencabulan anak ini menimbulkan keprihatinan dalam penegakan hukum dan perlindungan hak-hak anak di Indonesia.

“Kasus ini mencerminkan bahwa aparat penegak hukum masih belum serius dalam menangani kejahatan seksual terhadap anak, meskipun telah ada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan UU No 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual,” kata Andreas Hugo Pareira kepada wartawan, Jumat (21/3/2025).

Untuk diketahui, berbagai kalangan mengecam keputusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kelas IA Jayapura yang beberapa waktu lalu membebaskan oknum anggota kepolisian berinisial AFH (20) dari kasus pencabulan terhadap seorang anak berusia 5 tahun di Keerom, Papua.

AFH didakwa melakukan pencabulan sejak 2022 dan sebelumnya dituntut 12 tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) berdasarkan UU Perlindungan Anak. Peristiwa tersebut terjadi saat AFH berkunjung ke rumah korban dan memanfaatkan situasi ketika kakak korban meninggalkan mereka untuk membeli mi instan di kios terdekat.

Buntut keputusan hakim ini, pihak keluarga korban dan kuasa hukum menyatakan keberatan dan berencana mengajukan kasasi. Andreas mendukung keputusan keluarga korban.

“Keputusan pihak keluarga ini menunjukkan adanya dugaan ketidakberesan atau ketidakwajaran dalam proses peradilan. Keputusan hukum tersebut juga telah mencederai keadilan dan tidak pro terhadap hak asasi manusia yang di dalamnya terdapat hak-hak anak,” kata Andreas.

Menurutnya, pengadilan perlu mempertimbangkan status terdakwa sebagai anggota kepolisian yang seharusnya menjadi pelindung masyarakat.

Dengan putusan bebas kepada pelaku kekerasan seksual, pengadilan pun disebut tidak mendukung perlindungan terhadap anak yang masuk dalam kelompok rentan.

Baca Juga: Eks Kapolres Ngada AKBP Fajar Cabuli 3 Anak, Kemen PPPA Turun Tangan Ungkap Fakta Penting Ini

“Di saat terdakwa telah mencoreng citra institusi kepolisian karena perilakunya, pengadilan pun ikut tidak berpihak kepada korban lewat proses peradilan yang penuh ketidakadilan,” ujarnya.

Ia menilai, pengawasan terhadap proses peradilan harus diperkuat. Menurutnya, hal ini diperlukan untuk memastikan bahwa putusan yang diambil berdasarkan fakta dan keadilan, bukan karena intervensi atau faktor lain yang tidak semestinya.

“Putusan hakim pada kasus ini semakin menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap aparat penegak hukum. Tentunya harus menjadi perhatian kita bersama untuk sama-sama bisa mengawal kasus ini hingga tuntas,” ujarnya.

Andreas juga menekankan pentingnya penegakan hukum yang memprioritaskan pada perlindungan hak-hak korban, terutama yang melibatkan anak-anak.

Hal ini mengingat UU Perlindungan Anak sudah mengatur ancaman hukuman berat bagi pelaku kekerasan seksual pada anak untuk memberikan efek jera sekaligus sebagai bentuk perlindungan bagi anak-anak. Apalagi ancaman hukuman berat bagi pelaku kekerasan seksual juga sudah diatur dalam UU TPKS.

“Kami juga berharap Komnas HAM ikut terlibat mengawal kasus ini demi memastikan hak-hak korban benar-benar terakomodir,” katanya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI