Tidak Tahan Godaan, Benarkah Hakim jadi Tak Mempan Disuap jika Gajinya Dinaikkan Prabowo?

Selasa, 15 April 2025 | 14:44 WIB
Tidak Tahan Godaan, Benarkah Hakim jadi Tak Mempan Disuap jika Gajinya Dinaikkan Prabowo?
Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat Djuyamto (tengah) dikawal petugas menuju mobil tahanan usai menjalani pemeriksaan di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin (14/4/2025). [ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/nym]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman menilai rencana Presiden Prabowo Subianto untuk menaikkan gaji hakim di Indonesia relevan dengan kasus dugaan suap yang baru-baru ini menjerat para hakim.

Hal ini disampaikan Boyamin sekaligus untuk merespons maraknya kasus dugaan suap yang menjerat para hakim mulai dari kasus dugaan suap di lingkungan MA yang menjerat eks Sekretaris MA Hasbi Hasan dan Nurhadi hingga kasus suap terkait vonis bebas terpidana kasus pembunuhan Gregorius Ronald Tannur yang menjerat tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya.

Kasus suap hakim yang paling baru adalah dugaan suap pada vonis lepas dalam dugaan tindak pidana korupsi ekspor minyak mentah atau CPO dengan terdakwa korporasi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta.

Rencana Prabowo itu dinilai bisa menjadi salah satu upaya untuk mencegah terjadinya praktik permainan kasus melalui suap yang menjerat para hakim.

“Betul (relevan dengan rencana Prabowo menaikkan gaji hakim),” kata Boyamin kepada Suara.com, Selasa (15/4/2025).

Koordinator Masyarakat Anti Korupsi (MAKI) Boyamin Saiman. [Suara.com/Welly Hidayat]
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi (MAKI) Boyamin Saiman. [Suara.com/Welly Hidayat]

Sebab, dia menilai kasus suap yang menjerat hakim juga dipengaruhi dengan faktor itu gaji hakim yang sebagian besarnya digunakan untuk membayar pinjaman. Di luar tanggungan membayar pinjaman, Boyamin menyebut para hakim hanya mendapatkan 20 hingga 30 persen gajinya.

“Sehingga ya kemudian, mohon maaf, kemudian karena tinggal sedikit ya tidak tahan godaan gitu,” ujar Boyamin.

Rangkaian kasus suap ini, menurut MAKI, mencerminkan pentingnya bukan hanya menaikkan gaji hakim, tetapi juga memperbaiki sistem pengawasan internal dan pembatasan pinjaman agar hakim tidak tergoda menerima suap.

Untuk itu, Boyamin juga menilai Mahkamah Agung (MA) seharusnya membuat aturan soal batas maksimal pinjaman dari gaji yang bisa dilakukan hakim agar tidak menjadi beban bagi hakim.

Baca Juga: Hakim Diguyur Suap, DPR Sebut Skandal Vonis Lepas Kasus CPO Tamparan buat MA: Peristiwa Memalukan!

“Harusnya itu Mahkamah Agung harus memberikan peraturan maksimal hutang boleh maksimal 30 persen dari gaji sehingga biar tidak nanti kebebanan macam-macam tiap harinya gitu,” ucap Boyamin.

Terlebih, dia mengungkapkan bahwa pinjaman para hakim umumnya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan yang sifatnya mewah seperti mobil dan lain sebagainya. Dengan begitu, dia menilai MA seharusnya memberikan ketegasan untuk memberikan batasan agar tidak membebani keuangan para hakim.

Skandal Putusan Lepas Kasus CPO

Diberitakan sebelumnya, tiga orang hakim ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung RI. Penetapan tersangka itu karena ketiga hakim itu terlibat suap terkait putusan vonis lepas atau ontslag dalam kasus korupsi ekspor minyak mentah atau CPO dengan terdakwa korporasi.

Adapun ketiga orang tersangka kali ini yakni Djumyanto selaku Ketua Majelis Hakim yang saat itu memimpin jalannya persidangan. Kemudian, dua orang majelis hakim yakni Agam Syarif Baharuddin, dan Ali Muhtarom.

Direktur Penyidikan pada Jampidsus Abdul Qohar mengatakan, ketiga hakim tersebut terbukti menerima uang untuk penanganan perkara korupsi yang sedang ditangani di Pengadilan Jakarta Pusat.

“ABS, selaku hakim pada pengadilan negeri Jakarta Pusat. AM dan DJU yang bersangkutan hakim hakim Pengadilan Negeri Jaksel. Yang saat itu yang bersangkutan menjadi ketua majelis hakim,” kata Abdul Qohar, di Kejaksaan Agung, Senin (14/3/2025) dini hari.

Qohar menuturkan dalam perkara ini bermula ketika pengacara terdakwa, Ariyanto Bakri bertemu dengan Wahyu Gunawan selaku panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk pemufakatan perkara dugaan korupsi ekspor minyak mentah.

Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat Ali Muhtarom (depan) dikawal petugas menuju mobil tahanan usai menjalani pemeriksaan di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin (14/4/2025). [ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/nym]
Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat Ali Muhtarom (depan) dikawal petugas menuju mobil tahanan usai menjalani pemeriksaan di Gedung Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin (14/4/2025). [ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/nym]

Aliran Suap

Aryanto menyampaikan ke Wahyu Gunawan bakal memberikan uang senilai Rp20 miliar untuk mengurus perkara agar bisa ontslag atau vonis lepas. Wahyu Gunawan kemudian menyampaikan hal ini ke Muhammad Arif Nuryanta, yang saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua PN Jakarta Pusat.

Arif kemudian menyetujui hal ini, namun ia meminta uang senilai Rp60 miliar. Wahyu Gunawan kemudian menyampaikan itu ke Ariyanto. Ariyanto pun menyetujui hal tersebut, kemudian menyerahkan uang tersebut kepada Wahyu. Wahyu selanjutnya menyerahkan uang itu ke Arif.

Usai penetapan sidang, Arif kemudian memanggil ketiga hakim yang akan mengadili perkara ini. Arif kemudian menyerahkan uang senilai Rp4,5 miliar kepada tiga orang hakim melalui Agam Syarif Baharuddin untuk dibagi rata kepada dua hakim lainnya.

"Uang tersebut diberikan agar perkara diatensi,” kata Qohar.

Setelah itu, Arif kembali menyerahkan uang senilai Rp18 miliar untuk dibagikan lagi kepada ketiga hakim tersebut. Uang tersebut diserahkan kepada Djumyanto selaku ketua majelis hakim. 

Kemudian Djumyanto membagikan uang tersebut kepada Agam Syarif Baharuddin dan Ali Muhtarom. Adapun besaran pembagian tersebut yakni, Agam Syarif Baharudin senilai Rp4,5 miliar dan Ali Muhtarom senilai Rp5 miliar sementara Djumyanto sendiri mendapat Rp6 miliar.

“Ketiga hakim tersebut mengetahui uang tersebut perkara ini diputus putusan ontslag,” jelasnya.

Ketiga orang tersangka terancam dijerat Pasal 12 huruf c Juncto Pasal 12B, Juncto Pasal 6 ayat 2, Juncto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Juncto Pasal 55 ayat 1 ke  (1) KUHP.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI