Suara.com - Di tengah hiruk pikuk Canton Fair, Guangzhou, Lionel Xu tampak cemas. Kotak-kotak berisi alat pengusir nyamuk buatan perusahaannya, Sorbo Technology, berjejer di belakangnya.
Rapi. Tak tersentuh. Dulu, produk-produk itu mudah masuk ke Walmart di Amerika Serikat. Sekarang semua tertahan di gudang Zhejiang. Tak bisa keluar. Tak laku dijual.
“Trump itu orang gila,” ucapnya pelan, sambil menatap kosong ke arah pengunjung pameran.
Xu bukan pengusaha besar. Perusahaannya punya sekitar 400 pekerja. Tapi separuh omzetnya berasal dari pasar AS. Tarif 145 persen yang diterapkan Donald Trump membuat bisnisnya kelimpungan.
“Kami kewalahan. Ini benar-benar berat.”

Beberapa langkah dari stan Xu, Amy menjaga lapak Guangdong Sailing Trade Company. Ia menjual mesin pembuat es krim. Lagi-lagi, pasar utamanya Amerika Serikat
“Kami sudah hentikan produksi,” ujarnya.
“Semua produk menumpuk di gudang.”
Kisah seperti ini terdengar di hampir setiap sudut pameran. Semua terdampak. Semua menunggu.
Baca Juga: Tarif Jalan Tol Naik Tahun 2025, Ini 38 Daftar Ruas yang Terdampak
Xu pun tak punya pilihan. Siang itu, ia bersiap menjamu pembeli asal Australia. Harapannya sederhana ada yang beli, ada yang bergerak.
“Soal Trump? Kita lihat saja nanti,” katanya, berusaha tenang.
Ia lalu menyilangkan jari. Gerakan kecil yang penuh arti.
“Mungkin akan membaik dalam satu dua bulan,” tambahnya. “Mudah-mudahan.”
Minggu lalu, Trump menunda sebagian tarif. Alasannya: pasar saham global anjlok, pasar obligasi AS terguncang. Tapi penundaan itu tak menyentuh semua lini.
Tarif atas barang-barang China tetap diberlakukan. Tegas. Tanpa kompromi.
Beijing langsung membalas. Pungutan 125% dikenakan atas impor dari Amerika Serikat.
Akibatnya? Ribuan pedagang dari lebih 30.000 perusahaan yang hadir di Canton Fair, Guangzhou, dibuat bingung.
Pameran dagang tahunan ini luar biasa besar—seluas 200 lapangan bola. Di setiap aula, ratusan produk rumah tangga dipajang: dari mesin cuci, pengering pakaian, sikat gigi elektrik, hingga pembuat wafel.
Pembeli datang dari seluruh dunia. Mereka ingin melihat langsung, bernegosiasi, dan menjalin kerja sama dagang.
Namun tahun ini terasa berbeda. Tarif baru membuat harga barang meroket. Mesin pengaduk, penyedot debu—semuanya jadi mahal. Terlalu mahal untuk pasar AS.
Sebagian besar perusahaan Amerika tak sanggup menanggung beban itu. Barang China pun menumpuk di lantai-lantai pabrik. Tak bergerak. Tak terjual.
Perang dagang ini mandek. Buntu. Dan dampaknya makin nyata di dapur-dapur rumah AS.
Harga melonjak, pilihan menyusut.
“Jika mereka tak ingin impor dari kami, ya sudah,” ujar Hy Vian, pencari oven listrik. “Kami masih punya 1,4 miliar penduduk. Kami akan utamakan mereka.”
Pemerintah China pun terus mendorong konsumsi domestik. Perang dagang ini belum berakhir. Dan semua orangdari pedagang sampai pembeli masih menunggu akhir ceritanya.
Namun, upaya ini belum berhasil.
Sebagian besar masyarakat kelas menengah di China telah menginvestasikan tabungan mereka untuk membeli rumah keluarga.
Namun, dalam empat tahun terakhir, harga properti merosot tajam dan membuat dan membuat mereka lebih memilih menabung ketimbang berbelanja.
Dibandingkan negara lain, China barangkali berada dalam posisi yang lebih baik untuk menghadapi gejolak perekonomian global.
Akan tetapi, pada kenyataan ekonomi China tetap saja didorong ekspor.
Tahun lalu, ekspor menyumbang sekitar setengah dari pertumbuhan ekonomi China.
China juga masih menjadi pabrik dunia.
Goldman Sachs memperkirakan sekitar 10 hingga 20 juta orang di China mungkin bekerja secara spesifik untuk ekspor barang ke AS.
Sebagian pekerja tersebut sudah merasakan dampaknya.
Tidak jauh dari Canton Fair, berjubel pabrik kecil di Guangdong yang membuat pakaian, sepatu, dan tas.
Ini adalah pusat manufaktur untuk perusahaan seperti Shein dan Temu.
Setiap gedung menampung beberapa pabrik di berbagai lantai. Di sini, para pekerja bekerja keras selama 14 jam sehari.
Di trotoar dekat sejumlah pabrik sepatu, beberapa pekerja tampak berjongkok sambil berbincang dan merokok.
"Keadaan sedang tidak baik," ujar seorang pekerja yang enggan menyebutkan namanya. Temannya mendesaknya untuk berhenti bicara.
Membahas kesulitan ekonomi merupakan isu sensitif di China.
"Kami mengalami masalah sejak pandemi Covid, dan sekarang ada perang dagang ini. Dulu saya dibayar 300-400 yuan (sekitar Rp690 ribu - Rp920 ribu) per hari. Sekarang? Bisa mendapat 100 yuan (sekitar Rp 230 ribu) sehari saja sudah bagus."
Pekerja itu mengatakan sulit mencari pekerjaan belakangan ini.
Pekerja lainnya mengatakan kepada BBC bahwa penghasilan mereka hanya cukup untuk menjalani hidup sederhana.
Sebagian orang di China bangga akan produk mereka. Namun, sebagian lainnya merasakan dampak negatif kenaikan tarif dan bertanya-tanya bagaimana krisis ini akan berakhir.
China menghadapi prospek kehilangan mitra dagang yang membeli barang senilai lebih dari US$400 miliar (sekitar Rp6,7 kuadriliun) setiap tahun.
Di sisi lain, dampaknya juga akan dirasakan di AS. Para ekonom sudah memperingatkan emungkinan AS menuju resesi akibat perang dagang ini.
Segala ketidakpastian ini diperparah dengan sikap Trump yang dikenal dengan gaya konfrontatifnya.
Dia terus menekan Beijing sementara China tidak gentar.
Namun, Beijing menyatakan tidak akan menambah tarif 125% yang saat ini berlaku untuk barang-barang AS.
China bisa saja membalas dengan cara lain. Namun, ini setidaknya memberikan sedikit ruang bernapas bagi kedua negara.
Dilaporkan bahwa komunikasi antara Washington dan Beijing sangat minim. Kedua pihak tampaknya belum bersedia untuk kembali ke meja perundingan dalam waktu dekat.
Kepada BBC, beberapa perusahaan di Canton Fair memanfaatkan waktu pameran untuk mencari peluang pasar baru.
Amy berharap mesin pembuat es krimnya akan mendapat rumah baru.
"Kami berharap bisa membuka pasar Eropa yang baru. Mungkin Arab Saudi, dan tentu saja Rusia," katanya.
Pengusaha lainnya yakin masih ada potensi keuntungan di pasar domestik.
Mei Kunyan, 40 tahun, mengatakan perusahan sepatunya yang memperoleh sekitar 10.000 yuan (sekitar Rp23 juta) per bulan di perusahaan sepatunya dengan menjual kepada pelanggan China.
Banyak produsen sepatu besar telah pindah ke Vietnam karena biaya tenaga kerja di negara itu lebih murah.
Mei Kunyan juga menyadari sesuatu yang kini mulai disadari oleh para pelaku bisnis di sekitarnya: "Orang Amerika terlalu rumit."