“MBG itu bagus tujuannya. Tapi tolong dicek lagi vendor kateringnya. Kalau belum siap, jangan dipaksakan. Ini nama negara jadi jelek, kasihan anak-anak yang jadi korban,” ujar @sch****.
Di tengah riuhnya komentar, muncul pula kritik yang lebih mendalam soal konsep besar program MBG ini. Sejumlah netizen menganggap bahwa solusi untuk meningkatkan gizi anak tidak cukup dengan membagikan makanan gratis, melainkan dengan memperbaiki akar permasalahan ekonomi.
“Kayaknya MBG belum cocok diterapkan di Indonesia. Lebih baik sediakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya supaya orang tua bisa penuhi kebutuhan gizi anak sendiri,” tulis @muh****.
Ada juga usulan untuk memperkuat sektor pertanian dan perikanan nasional agar bahan pangan bergizi bisa lebih mudah dan murah diakses oleh masyarakat.
“Support pertanian, perikanan, pupuk, dan pendidikan. Biar bahan pangan murah dan keluarga bisa masak sehat sendiri. Kalau mau tracing gizi, biayai RT buat cek gizi harian di rumah-rumah warga,” kata @blo****.
Kasus di Bombana ini mempertegas bahwa implementasi program MBG membutuhkan evaluasi serius, tidak hanya soal distribusi dan kualitas makanan, tetapi juga tentang sistem pengawasan yang ketat di lapangan.
Apalagi, makanan yang dikonsumsi anak-anak ini berkaitan langsung dengan kesehatan dan keselamatan mereka. Pemerintah memang memiliki niat baik untuk mencegah stunting dan kekurangan gizi, namun jika eksekusi di lapangan bermasalah, tujuan itu justru bisa berbalik menjadi bencana baru.
Saat ini masyarakat menunggu langkah cepat dari pihak berwenang, terutama untuk melakukan evaluasi vendor penyedia makanan, memperbaiki sistem monitoring, serta memastikan kasus serupa tidak terulang.
Baca Juga: Puan Minta MBG Dievaluasi Usai Ada Siswa Keracunan Lagi, Kepala BGN: Saran yang Baik