Putusan MK: Pencemaran Nama Baik dalam UU ITE Tetap Berlaku, Kecuali untuk Pemerintah

Selasa, 29 April 2025 | 12:51 WIB
Putusan MK: Pencemaran Nama Baik dalam UU ITE Tetap Berlaku, Kecuali untuk Pemerintah
Gedung Mahkamah Konstitusi di Jakarta, Senin (16/10/2023). [Suara.com/Alfian Winanto]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan gugatan terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang mempersoalkan pasal mengenai penyerangan kehormatan atau nama baik.

Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan, bahwa pasal menyerang kehormatan atau nama baik yang diatur dalam UU ITE dikecualikan untuk lembaga pemerintah hingga sekelompok orang dengan identitas spesifik.

“Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Suhartoyo di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (29/4/2025).

MK menyatakan frasa “orang lain” dalam Pasal 27A dan Pasal 45 ayat (4) UU ITE bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “kecuali lembaga pemerintah, sekelompok orang dengan identitas spesifik atau tertentu, institusi, korporasi, profesi atau jabatan.”

Pasal 27A UU ITE mengatur perbuatan yang dilarang dalam kegiatan transaksi elektronik. Pasal tersebut berbunyi “Setiap orang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang dilakukan melalui sistem elektronik.”

Lalu, Pasal 45 ayat (4) UU ITE berisi tentang ketentuan pidana atas Pasal 27A. Pasal tersebut mengatur setiap orang yang melanggar Pasal 27A UU ITE dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama dua tahun dan/atau denda paling banyak Rp400 juta.

Dalam pertimbangannya, MK menyatakan terdapat ketidakjelasan batasan frasa “orang lain” dalam Pasal 27A UU ITE sehingga norma pasal tersebut rentan untuk disalahgunakan.

Padahal, pada Pasal 433 ayat (1) KUHP 2023 yang baru akan mulai berlaku pada 2026, juga sama-sama menggunakan frasa “orang lain” untuk merujuk pada korban pencemaran nama baik.

Merujuk pada aturan tersebut, sejatinya telah ditentukan pihak yang tidak bisa menjadi korban dari tindak pidana pencemaran nama baik, yaitu lembaga pemerintah atau sekelompok orang.

Baca Juga: UU Mata Uang Digugat ke MK, Minta Rp 1.000 Jadi Rp 1: Kebanyakan Nol Bikin Salah Hitung

Di sisi lain, ketentuan Pasal 27A UU ITE juga berkaitan dengan Pasal 45 ayat (7) UU ITE yang menyatakan bahwa perbuatan menyerang kehormatan atau nama baik tidak dapat dipidana jika dilakukan untuk kepentingan umum atau karena terpaksa membela diri.

Kepentingan umum tersebut, sebagaimana dijelaskan dalam bagian penjelasan Pasal 45 ayat (7) UU ITE, adalah dalam rangka melindungi kepentingan masyarakat yang diungkapkan melalui hak berekspresi dan berdemokrasi seperti unjuk rasa atau kritik.

Menurut MK, kritik menjadi hal penting sebagai bagian dari kebebasan berekspresi yang sedapat mungkin bersifat konstruktif, walaupun mengandung ketidaksetujuan terhadap perbuatan atau tindakan orang lain.

Pada dasarnya, MK menilai Pasal 27A UU ITE merupakan bentuk pengawasan, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat.

Artinya, kritik yang konstruktif terhadap kebijakan pemerintah untuk kepentingan masyarakat merupakan hal yang penting sebagai sarana penyeimbang atau kontrol publik yang justru harus dijamin dalam negara hukum yang demokratis.

“Terbelenggunya hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, justru akan mengikis fungsi kontrol atau pengawasan yang merupakan keniscayaan agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan, abuse of power, dalam penyelenggaraan pemerintahan,” ucap Hakim Konstitusi Arief Hidayat saat membacakan pertimbangan hukum putusan nomor 105/PUU-XXII/2024 itu.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI