CEK FAKTA: Prabowo Copot Gibran dari Kursi Wakil Presiden hingga Jokowi Pingsan, Benarkah?

Riki Chandra Suara.Com
Sabtu, 03 Mei 2025 | 12:51 WIB
CEK FAKTA: Prabowo Copot Gibran dari Kursi Wakil Presiden hingga Jokowi Pingsan, Benarkah?
Kolase Presiden Prabowo dan Wapres Gibran Rakabumi Raka. [Dok. Istimewa]
cek fakta hoaks

Hoaks!

Berdasarkan verifikasi Suara.com sejauh ini, informasi ini tidak benar.

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Beredar sebuah video di platform YouTube bernarasi Presiden Prabowo Subianto telah resmi memberhentikan Gibran Rakabuming Raka dari jabatannya sebagai Wakil Presiden pada tanggal 29 April lalu.

Dalam video tersebut, turut disebutkan bahwa posisi Wakil Presiden akan segera diisi oleh Ketua DPR sekaligus putri dari Megawati Soekarnoputri, yaitu Puan Maharani, yang dikabarkan akan diumumkan langsung oleh Presiden Prabowo.

Unggahan yang menarasikan Prabowo resmi copot Gibran sebagai Wapres pada akhir April. Faktanya, pernyataan tersebut tidak berdasar alias berita hoaks. [Dok. Antara/YouTube]
Unggahan yang menarasikan Prabowo resmi copot Gibran sebagai Wapres pada akhir April. Faktanya, pernyataan tersebut tidak berdasar alias berita hoaks. [Dok. Antara/YouTube]

Sebelumnya, sempat ramai dibahas mengenai delapan poin rekomendasi yang diajukan oleh Forum Purnawirawan Prajurit TNI, di mana salah satu poinnya menyebutkan soal usulan penggantian wakil presiden.

Berikut narasi dalam unggahan video tersebut:

Jokowi PINGSAN ! Prabowo Resmi Copot Gibran ! Presiden Umumkan Pengganti Wapres~ PDIP Ajukan PUAN !”

Benarkah informasi tersebut?

Dari hasil verifikasi yang dilakukan oleh tim Antara, tidak ditemukan adanya pernyataan resmi dari Presiden Prabowo yang menyatakan bahwa ia akan menggantikan Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden. Klaim tersebut sepenuhnya tidak berdasar fakta.

Untuk diketahui, dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia, proses pemberhentian Presiden ataupun Wakil Presiden diatur secara ketat melalui mekanisme yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, khususnya pada Pasal 7A.

Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa seorang Presiden dan/atau Wakil Presiden hanya bisa diberhentikan apabila terbukti melakukan pelanggaran serius seperti tindakan makar, korupsi, atau tindak pidana berat lainnya.

Baca Juga: CEK FAKTA: Roy Suryo dan Dokter Tifa Ditahan Buntut Sebut Ijazah Jokowi Palsu, Benarkah?

Mekanisme pemberhentian tersebut juga tidak bisa dilakukan secara sepihak, melainkan harus diajukan terlebih dahulu oleh DPR, kemudian disidangkan serta diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi.

Dengan kata lain, tanpa adanya proses hukum dan mekanisme konstitusional yang jelas, setiap informasi yang menyebut Presiden bisa langsung mencopot Wakil Presiden tidak memiliki legitimasi hukum serta bertentangan dengan prinsip dasar konstitusi Indonesia.

Pakar hukum tata negara Prof. Jimly Asshiddiqie, dalam berbagai karyanya seperti Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi (2010) serta Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, menegaskan bahwa amandemen UUD 1945—terutama Pasal 7A dan 7B—dirancang untuk memperkuat sistem presidensial agar tidak mudah digoyahkan oleh kepentingan politik tertentu.

Lebih jauh lagi, dalam sebuah publikasi ilmiah bertajuk Constitutional Review (2017), akademisi Yance Arizona mengungkapkan bahwa pemakzulan terhadap presiden atau wakil presiden seharusnya dilakukan berdasarkan alat bukti hukum yang sah dan objektif.

Dia menyayangkan jika wacana pemakzulan dijadikan alat politik praktis, karena hal tersebut dapat mengancam kestabilan demokrasi serta merusak integritas institusi negara.

Menurut Yance, proses pemberhentian pejabat tinggi negara tidak boleh dijadikan solusi atas perbedaan politik biasa. Pemakzulan adalah sarana konstitusional yang seharusnya digunakan secara hati-hati untuk menegakkan akuntabilitas hanya dalam kasus pelanggaran berat oleh pejabat negara.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI