Suara.com - Sebuah video YouTube bernarasi bahwa Presiden Prabowo memecat ratusan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) karena menolak mengesahkan RUU Perampasan Aset, beredar di media sosial.
Unggahan tersebut ramai dibagikan dan memicu berbagai reaksi publik yang mempertanyakan kebenaran informasi itu.
Kabar tersebut mencuat usai Presiden Prabowo Subianto menyatakan dukungannya terhadap percepatan pengesahan RUU Perampasan Aset sebagai komitmen serius pemerintah dalam upaya pemberantasan korupsi.
![Unggahan yang menarasikan ratusan anggota DPR dipecat Prabowo karena tolak RUU Perampasan Aset. [Dok. Antara]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2025/05/09/96545-hoaks.jpg)
Hal itu disampaikan dalam pidato peringatan Hari Buruh Internasional di Lapangan Monas, Jakarta Pusat, pada Kamis (1/5/2025).
Berikut narasi dalam unggahan di video YouTube tersebut:
"Ratusan Anggota DPR TAK TERIMA DIPECAT Presiden Prabowo Karena TOLAK PENGESAHAN RUU Perampasan Aset!"
Lantas, benarkah informasi tersebut?
Dari penelusuran tim Anti Hoax Antara, dipastikan bahwa klaim tersebut tidak benar dan tidak berdasar. Tidak ditemukan pernyataan resmi ataupun tindakan konstitusional dari Presiden yang berkaitan dengan pemecatan anggota DPR.
Dalam konstitusi RI, Presiden dan DPR memiliki kedudukan yang sejajar dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, dan tidak saling menjatuhkan satu sama lain.
Baca Juga: Cabut Empat IUP Nikel di Raja Ampat, Prabowo Disebut Responsif
Hal ini sejalan dengan ketentuan dalam Pasal 7C UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat.”
Dengan begitu, Presiden tidak memiliki wewenang untuk mengambil tindakan pemecatan terhadap anggota legislatif.
Pemberhentian Anggota DPR
Ketentuan mengenai pemberhentian anggota DPR telah diatur dalam Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib.
Salah satu poin menyebutkan bahwa anggota DPR dapat diberhentikan apabila tidak mampu melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap selama tiga bulan berturut-turut tanpa keterangan yang sah.
Klaim pemecatan massal oleh Presiden pun bertentangan dengan prosedur hukum yang berlaku dan tidak memiliki landasan fakta.
RUU Perampasan Aset Masih Menunggu Pembahasan
Ketua DPR RI, Puan Maharani, menegaskan bahwa pembahasan RUU Perampasan Aset akan dilanjutkan setelah rampungnya pembahasan RUU KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana).
Puan menilai bahwa setiap undang-undang harus dibahas secara hati-hati dan tidak tergesa-gesa, demi menghindari potensi kesalahan yang berdampak luas.
Wakil Ketua DPR RI, Adies Kadir, juga menyatakan bahwa pembahasan RUU ini harus mengikuti mekanisme yang benar.
Ia menyebut, jika dibahas bersamaan tanpa menyelesaikan RUU KUHAP terlebih dahulu, maka akan berisiko melanggar prosedur legislasi yang berlaku.
Sejumlah pakar hukum juga menyarankan agar RUU Perampasan Aset disesuaikan dengan perkembangan hukum terkini dan memperhatikan prinsip hak asasi manusia, mengingat RUU ini berpotensi menyasar aset hasil tindak pidana korupsi dan tindak pidana lainnya.
Dukungan publik terhadap pengesahan RUU Perampasan Aset semakin meningkat, seiring dengan sorotan tajam masyarakat terhadap kasus korupsi yang belum tuntas.
RUU ini dinilai sebagai salah satu instrumen penting untuk mempercepat proses penyitaan aset hasil kejahatan.
Dalam hal ini, pemerintah dan DPR dituntut untuk mempercepat sinergi agar agenda pemberantasan korupsi dapat berjalan maksimal.
Namun demikian, penting bagi masyarakat untuk tidak mudah terpengaruh oleh narasi provokatif yang tidak berdasar, terutama yang menyebar di media sosial dan platform digital.
KESIMPULAN
Berdasarkan penelusuran fakta yang valid, klaim bahwa Presiden Prabowo memecat ratusan anggota DPR karena menolak RUU Perampasan Aset adalah hoaks.
Tidak ada bukti atau pernyataan resmi yang mendukung narasi tersebut. Presiden tidak memiliki kewenangan untuk memecat anggota DPR, dan proses pembahasan RUU Perampasan Aset masih berjalan sesuai mekanisme yang berlaku.
Klaim tersebut termasuk dalam kategori disinformasi yang dapat menyesatkan masyarakat dan mengganggu stabilitas politik nasional. Masyarakat diimbau untuk lebih berhati-hati dalam menerima informasi dan memverifikasi sumber sebelum mempercayainya. (Antara)