Audiensi dengan Mensos, Aktivis hingga Korban 65 Tolak Soeharto Dijadikan Pahlawan Nasional

Kamis, 15 Mei 2025 | 16:22 WIB
Audiensi dengan Mensos, Aktivis hingga Korban 65 Tolak Soeharto Dijadikan Pahlawan Nasional
Audiensi dengan Mensos, Aktivis hingga Korban 65 Tolak Soeharto Dijadikan Pahlawan Nasional. (Suara.com/Lilis)

Suara.com - Kementerian Sosial (Kemensos) dapat protes dari Gerakan Masyarakat Adili Soeharto atau Gemas mengenai rencana pemerintah usulkan Presiden RI kedua itu sebagai pahlawan nasional.

Rombongan Gemas itu turut melibatkan beberapa aktivis dan akademisi, seperti Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid, dosen Hukum Tata Negara Universitas Indonesia Bivitri Susanti, juga perwakilan KontraS Jane Rosalina. Hadir pula seorang mantan korban kekerasan peristiwa 1965, Bejo Untung.

Saat audiensi dengan Menteri Sosial Saifullah Yusuf atau Gus Ipul, Usman menegaskan bahwa tidak seharusnya pemerintah mengangkat Soeharto sebagai pahlawan nasional.

"Kami Gerakan Masyarakat Adili Soeharto menolak penetapan pahlawan nasional untuk mantan Presiden Soeharto. Pertama-tama karena TAP MPR nomor 11 tahun 1998 masih berlaku dan TAP MPR itu masih memandatkan Indonesia untuk membersihkan Indonesia dari korupsi, kolusi dan nepotisme," tutur Usman di Kantor Kemensos Jakarta, Kamis (15/5/2025).

Usman menjelaskan, bahwa dalam Undang-Undang Gelar dan Tanda Jasa telah diatur kalau seorang pahlawan nasional harus punya integritas juga keteladanan moral di dalam konteks kemanusiaan, kerakyatan, dan keadilan.

"Begitu tidak mudah mereformasi militer. Begitu tidak mudah membersihkan Indonesia dari praktik kekerasan dan pelanggaran HAM. Bahkan Mantan Presiden Abdurrahman Wahid menjadi seorang saksi sekaligus menjadi seorang korban dan betapa tidak mudahnya untuk meminta pertanggungjawaban dari pemerintahan Soeharto," tuturnya.

Dalam audiensi tersebut, Gemas juga memberikan tiga dokumen kepada Kemensos untuk mempertimbangkan pembatalan Soeharto jadi pahlawan nasional.

Dokumen pertama terkait dengan tanggapan Gemas terkait dengan argumentasi penolakan itu, dikuatkan dengan berbagai literatur.

Dokumen kedua terkait dengan international joint statement atau petisi yang dilayangkan oleh sejumlah organisasi masyarakat sipil di tingkat internasional yang ada di Indonesia untuk menolak gelar pahlawan Soeharto.

Baca Juga: Soeharto Dianggap Tidak Pantas Diberi Gelar Pahlawan Nasional, Kantor Kemensos Digeruduk Massa

Dokumen ketiga, terkait dengan argumentasi bahwa tap MPR yang sempat diklaim telah dihapuskan nama Soeharto dari tap MPR nomor 11 tahun 1998, tidak bisa dijadikan pertimbangan maupun dasar untuk memberikan gelar pahlawan kepada Soeharto karena TAP MPR nomor 11 tahun 1998 masih dinyatakan berlaku, hingga saat ini berdasarkan tap MPR nomor 1 tahun 2003.

Menanggapi protes tersebut, Menteri Sosial Saifullah Yusuf (Gus Ipul) menyampaikan kalau prinsipnya pemerintah menerima setiap masukan dari masyarakat.

Gus Ipul menjelaskan kalau usulan pahlawan nasional itu mulanya disampaikan oleh masyarakat di daerah. Kemudian selanjutnya dilajukan kajian oleh Kemensos bersama Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP).

"Kementerian Sosial menerima masukan melalui prosedur normal yang semestinya. Mulai dari usulan masyarakat, kemudian diakomodasi oleh bupati-bupati, walikota lewat tim yang dimiliki, naik ke gubernur dengan tim yang dimiliki, lalu kembali di Kementerian Sosial," kata Gus Ipul.

Dia menyebutkan kalau tim TP2GP yang dibuat oleh Kementerian Sosial itu terdiri dari akademisi serta sejarawan, yang dipastikan akan mempertimbangkan penyusunan calon tokoh nasional.

Gelar Soeharto Dinilai Bisa Lukai Keadilan

Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Abidin Fikri mengatakan, wacana pemberian gelar pahlawan bagi Presiden Ke-2 Republik Indonesia Soeharto di tengah belum tuntasnya kasus hukum terkait dugaan korupsi sejumlah yayasan pada era Orde Baru, justru akan melukai rasa keadilan rakyat Indonesia.

Ia pun meminta Kementerian Sosial untuk mengkaji secara mendalam usulan pemberian gelar tersebut.

"Kasus dugaan korupsi tujuh yayasan yang melibatkan Soeharto, sebagaimana ditetapkan pada tahun 2000, hingga kini belum menemui penyelesaian hukum yang jelas," kata Abidin dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Selasa (6/5/2025) lalu.

Menurut ia, memberikan gelar pahlawan nasional di tengah adanya fakta itu bukan hanya bertentangan dengan prinsip keadilan, tetapi juga dapat mengikis kepercayaan publik terhadap integritas proses penganugerahan gelar.

Ia mengatakan pemberian gelar pahlawan nasional harus memenuhi kriteria sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, termasuk memiliki rekam jejak yang bersih dari tindakan melawan hukum.

Selain korupsi, ia mengatakan masa kepemimpinan Soeharto juga diwarnai dengan dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) serta praktik kolusi dan nepotisme. Masalah-masalah tersebut dinilai masih menyisakan luka bagi banyak korban dan keluarganya.

"Mengabaikan fakta sejarah dan ketidaktuntasan kasus hukum Soeharto akan mencederai semangat antikorupsi dan keadilan sosial yang sedang kita perjuangkan bersama," katanya.

Oleh karena itu, Abidin meminta usulan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto agar dikaji ulang secara mendalam karena rakyat Indonesia mengharapkan pahlawan nasional adalah figur yang menjadi teladan moral dan integritas.

Di sisi lain, ia juga mengapresiasi aspirasi masyarakat, termasuk dari berbagai elemen sipil yang menyerukan agar usulan pemberian gelar pahlawan nasional untuk Soeharto ditinjau ulang.

Ia mendesak Dewan Gelar dan pemerintah untuk mendengarkan suara rakyat serta mempertimbangkan dampak sosial dan historis dari keputusan ini.

Abidin pun memastikan Komisi VIII DPR RI akan terus mengawal proses ini dengan penuh tanggung jawab.

Ia juga meminta semua pihak untuk mengedepankan dialog yang berujung pada rasa keadilan masyarakat.

"Kami mengajak semua pihak untuk menjaga dialog yang konstruktif demi menjaga keutuhan sejarah dan keadilan bagi rakyat Indonesia,” katanya.

Sebelumnya, Menteri Sosial Saifullah Yusuf menyatakan nama Soeharto berpeluang mendapat gelar pahlawan nasional pada tahun 2025. Peluang ini terbuka setelah MPR mencabut TAP MPR 11/1998 soal korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI