Apa Itu Murur dan Tanazul Haji? Strategi Ibadah Haji 2025 yang Didukung Muhammadiyah

Riki Chandra Suara.Com
Sabtu, 17 Mei 2025 | 12:26 WIB
Apa Itu Murur dan Tanazul Haji? Strategi Ibadah Haji 2025 yang Didukung Muhammadiyah
Kakbah, Mekkah. [Dok. Antara]

Suara.com - Majelis Tarjih Muhammadiyah menegaskan pentingnya penerapan kebijakan murur dan tanazul demi kelancaran ibadah haji 2025. Strategi itu khususnya diterapkan untuk jemaah lansia yang tergolong berisiko tinggi.

Dalam Pengajian Tarjih yang digelar pada Rabu, 14 Mei 2025, Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Sopa, menyampaikan panduan pelaksanaan ibadah haji 2025.

Ia menyoroti bahwa masa pelaksanaan haji tahun ini cukup panjang, dimulai sejak Mei hingga Juli. Rata-rata jemaah akan menjalani perjalanan selama satu bulan lebih, sementara jemaah ONH Plus memiliki waktu ibadah yang lebih singkat karena datang belakangan dan pulang lebih awal.

Berdasarkan data Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), kuota haji Indonesia 2025 tetap ditetapkan satu jemaah per 1.000 penduduk Muslim.

Dengan estimasi populasi Muslim Indonesia, jumlah jemaah diperkirakan mencapai 220.000 hingga 221.000 orang. Meski kuota terbatas, Sopa mencatat bahwa animo masyarakat Indonesia untuk berhaji terus meningkat setiap tahun.

Namun, tantangan besar muncul karena sekitar 45.000 jemaah atau 21 persen dari total jemaah masuk kategori lanjut usia (lansia) dan berisiko tinggi secara kesehatan. Mereka akan mendapatkan gelang khusus sebagai penanda dan perlakuan khusus dari tenaga kesehatan.

Kondisi kepadatan di Mina menjadi perhatian utama. Sejak perluasan Mina Jadid dihentikan pada 2023, jemaah hanya memiliki ruang sekitar 0,87 meter persegi per orang, jauh dari ideal.

Ditambah lagi, cuaca panas di Arab Saudi yang sering melampaui 30 derajat Celsius memperparah risiko kesehatan, terutama bagi jemaah lansia.

Dikutip dari situs resmi Muhammadiyah, Sopa juga menyinggung pengalaman pahit pada musim haji 2023, ketika banyak jemaah terlambat tiba di Mina dari Muzdalifah karena hambatan transportasi. Hal ini menyebabkan sebagian besar jemaah baru tiba saat siang, padahal mabit seharusnya dilakukan pada malam hari.

Menghadapi kenyataan ini, Kementerian Agama RI menerapkan dua kebijakan penting: murur dan tanazul, yang telah dikaji dan didukung penuh oleh Majelis Tarjih Muhammadiyah dalam Muzakarah Haji 2024.

Kebijakan ini menjadi solusi konkret menghadapi tantangan pelaksanaan ibadah haji di tengah keterbatasan fasilitas dan cuaca ekstrem.

Kebijakan murur memperbolehkan jemaah lansia, difabel, dan pendamping mereka untuk melewati Muzdalifah tanpa bermalam, langsung menuju Mina pada malam 9 Zulhijah antara pukul 19.00 hingga 22.00 waktu Arab Saudi.

Menurut Sopa, kebijakan ini sesuai syariat dan diperkuat oleh kaidah fikih “Iza ta’azzar al-ashl yusharu ilal badal”, yang berarti bila hukum asal sulit dilaksanakan, boleh beralih ke pengganti. Jemaah yang menggunakan skema murur tidak dikenai dam, karena tetap melaksanakan rangkaian rukun haji.

Sementara itu, skema tanazul memungkinkan jemaah kembali ke penginapan pada 10 Zulhijah setelah dari Muzdalifah, dan melanjutkan ibadah di Mina keesokan harinya, termasuk melempar jumrah Aqabah sebanyak tujuh kali.

Kebijakan ini relevan karena ruang di Mina semakin sempit, bahkan kini hanya sekitar 0,79 meter persegi per jemaah.

Kebijakan ini juga diperkuat dalil dari Al-Qur’an, antara lain Surah Al-Hajj (22:78) dan Surah Al-Baqarah (2:185), yang menegaskan bahwa Allah tidak menghendaki kesulitan dalam menjalankan agama.

Hadis Aisyah riwayat Bukhari pun menyebut bahwa Nabi Muhammad SAW selalu memilih opsi yang paling mudah selama tidak berdosa.

Skema tanazul memberikan kemudahan bagi jemaah dengan uzur untuk menjalankan ibadah sesuai kemampuan. Dalam skema ini, jika jemaah mewakilkan lempar jumrah dan tetap hadir di Mina, maka mereka tidak dikenai dam. Namun, jika tidak sama sekali ke Mina dan meninggalkan kewajiban seperti lempar jumrah, maka wajib membayar dam, sesuai dengan Al-Baqarah (2:196).

Sopa menyebut bahwa kebijakan murur dan tanazul mencerminkan semangat fikih taisir, atau prinsip memudahkan dalam beragama, yang selaras dengan nilai hifz ad-din (memelihara agama) dan hifz an-nafs (memelihara jiwa).

PP Muhammadiyah, lanjutnya, mendukung penuh pelaksanaan kebijakan ini demi kelancaran dan keselamatan jemaah Indonesia, terutama kelompok rentan.

Penjelasan Murur dan Tanazul Ibadah Haji

Dua skema terbaru yang kini diterapkan Kemenag pada musim haji 2025 ini adalah skema murur dan tanazul, yang terbukti efektif mengurangi kepadatan dan meningkatkan kenyamanan jemaah saat puncak ibadah haji.

Skema ini merupakan bagian dari reformasi manajemen pergerakan jemaah yang difokuskan pada titik-titik krusial, seperti Arafah, Muzdalifah, dan Mina.

Skema murur mulai diterapkan pada musim haji 1445 H/2024 M. Dalam sistem ini, jemaah yang telah menyelesaikan wukuf di Arafah diberangkatkan langsung ke Mina tanpa turun dari bus di Muzdalifah.

Jemaah hanya akan melintasi kawasan Muzdalifah, dan tetap berada di dalam kendaraan, sehingga proses perjalanan menjadi lebih cepat dan efisien.

Langkah ini diambil untuk mengatasi kemacetan yang kerap terjadi di Muzdalifah akibat menumpuknya bus dan jemaah.

Dengan penerapan skema murur, Kemenag berharap proses mobilisasi jemaah menjadi lebih tertib dan menghindari kepadatan ekstrem yang dapat berdampak pada keselamatan.

“Skema murur terbukti mempercepat pergerakan dari Arafah ke Mina, serta menurunkan risiko kelelahan jemaah karena tidak perlu turun dari bus di tengah malam,” tulis Kemenag melalui situs resminya.

Selain murur, Kemenag juga mengembangkan skema tanazul, sebagai strategi pendukung dalam mengatur arus jemaah di Mina.

Skema tanazul memungkinkan jemaah untuk tidak bermalam penuh di tenda Mina, melainkan menginap di hotel-hotel yang dekat dengan lokasi lontar jumrah di Jamarat.

Konsep tanazul dalam ibadah haji ini mengatur agar jemaah tetap menjalankan kewajiban mabit di Mina sesuai syariat, namun dengan pola yang lebih fleksibel.

Jemaah akan kembali ke Mina pada malam hari, menginap setidaknya hingga melewati tengah malam (mu’dzamul lail), lalu melontar jumrah, dan kembali ke hotel. Proses ini dilakukan berulang selama hari-hari tasyrik.

Mengutip buku The Journey to Arafah: Kisah Perjalanan Spiritual karya H. Wahyudi, skema ini dirancang untuk mengurangi tekanan di tenda Mina yang selama ini dikenal sangat padat dan tidak selalu ramah bagi jemaah lansia maupun penyandang disabilitas.

Dengan kapasitas tenda terbatas dan cuaca ekstrem di Mina, banyak jemaah yang mengalami gangguan kesehatan seperti dehidrasi, sesak napas, hingga heatstroke.

Menteri Agama Nasaruddin Umar menegaskan bahwa skema tanazul 2024 diprioritaskan untuk jemaah lanjut usia dan penyandang disabilitas.

Artinya, skema ini bersifat opsional dan tidak diberlakukan untuk seluruh jemaah. Namun, bagi mereka yang memanfaatkan fasilitas ini, pengaturan waktu dan jadwal tetap disesuaikan agar tidak melanggar ketentuan ibadah.

Penerapan kedua skema ini juga sejalan dengan kebijakan pemerintah Arab Saudi yang terus memperbaiki infrastruktur dan sistem pergerakan jemaah.

Dengan jumlah jemaah yang terus meningkat setiap tahun, efisiensi mobilisasi menjadi kunci keberhasilan penyelenggaraan haji.

Tahun ini, Arab Saudi menerima lebih dari 1,8 juta jemaah dari seluruh dunia, termasuk lebih dari 241 ribu jemaah asal Indonesia.

Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI