Kerugian negara yang ditimbulkan akibat kebijakan atau tindakan dari pejabat yang tidak kompeten dapat dikategorikan sebagai bagian dari tindak pidana korupsi. Hal ini dapat memperberat ancaman pidana yang dikenakan kepada pelaku.
Diskusi di media sosial pun menjadi ramai dengan berbagai tanggapan warganet. Banyak pengguna X menyoroti pentingnya penegakan hukum secara adil, tanpa pandang bulu.
Komentar dari akun @akh*** seperti “Setiap penggunaan ijazah palsu harus diproses hukum. Apalagi pejabat, wajib,” menggambarkan kekhawatiran publik akan integritas para pemegang jabatan di Indonesia.
Ada juga komentar yang bernada satir, mempertanyakan kemungkinan dampak hukum jika seseorang berhasil menjabat sebagai Presiden selama 10 tahun menggunakan ijazah palsu.
"Trus misal klo punya ijazah palsu, dipake kerja menjadi pleciden selama 10th. Kira" hukum pidananya brpa thn?," kata @zha****.
"Mau jadi cleaning service aja gak boleh pake ijazah palsu apalagi jadi presiden," tambah @ari****.
"Aman aja pakai ijazah palsu karena udah dipraktikkan sama mantan pimpinan bangsa," tulis @bar****.
Meski tidak menyebut nama secara eksplisit, komentar-komentar seperti ini pun akhirnya menjadi bagian dari percakapan publik yang luas di media sosial, menyiratkan bahwa masyarakat mendambakan transparansi dan keadilan dalam setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kasus-kasus penggunaan ijazah palsu sendiri bukan hal baru di Indonesia. Dari sektor pendidikan, instansi pemerintah, hingga swasta, beberapa kasus telah terungkap dan diproses secara hukum.
Baca Juga: Soal Kans Jokowi Jadi Ketum PSI, Golkar Ogah Kecewa: Kita Sudah Belajar Realitas Politik yang Ada
Hal ini juga menunjukkan bahwa pemalsuan ijazah merupakan pelanggaran serius yang berdampak langsung terhadap kualitas sumber daya manusia dan kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga yang ada.