Suara.com - Kematian lebih dari 1.300 jemaah pada musim haji 2024 menyoroti tantangan besar yang dihadapi dalam penyelenggaraan ibadah tahunan ini panas ekstrem.
Suhu di Mekkah mencapai 51,8°C saat sekitar 1,8 juta jemaah melaksanakan rukun Islam kelima tersebut. Di balik tragedi itu, para pakar menyerukan perlunya pendekatan baru yang lebih adaptif dan menyeluruh untuk menjaga keselamatan para peziarah, bukan hanya dengan infrastruktur, tetapi juga dengan kebijakan yang inklusif dan antisipatif.
Menurut data resmi, mayoritas korban tewas adalah jemaah tanpa izin resmi. Artinya, mereka tak memiliki akses ke fasilitas perlindungan seperti tenda berpendingin atau layanan medis khusus.
Masalah ini tidak hanya menyangkut manajemen kerumunan, tetapi juga ketimpangan akses terhadap perlindungan dasar dalam kondisi iklim ekstrem.

Namun, sejumlah pakar dan praktisi kesehatan menyampaikan bahwa tragedi ini seharusnya menjadi titik balik untuk menghadirkan sistem haji yang lebih siap menghadapi tantangan iklim.
“Saya yakin otoritas Saudi telah belajar dari peristiwa tahun lalu,” kata Abderrezak Bouchama, peneliti senior dari Pusat Penelitian Medis Internasional Raja Abdullah.
“Langkah awal yang paling penting adalah meminimalkan risiko dari jemaah tak resmi, tapi solusi jangka panjangnya harus lebih luas dari itu.”
Bouchama, yang sudah lebih dari 30 tahun bekerja dalam pengendalian dampak panas di Arab Saudi, menyebutkan bahwa teknologi seperti sensor tubuh wearable yang mendeteksi tanda-tanda heat stress bisa menjadi terobosan.
Meski belum siap diluncurkan dalam waktu dekat, arah pengembangan ini menjanjikan.
Baca Juga: Ciri-ciri Haji Mabrur Menurut Rasulullah, Bukan Berhasil Cium Hajar Aswad
Di sisi lain, berbagai langkah mitigasi sebenarnya sudah dilakukan Saudi dalam beberapa tahun terakhir. Jalur jalan di area ritual kini dilapisi bahan khusus berwarna putih yang dapat menurunkan suhu permukaan hingga 20°C.
Pendingin udara juga telah dipasang di berbagai titik, termasuk jalur Sa’i antara bukit Safa dan Marwah.
Relawan dan petugas kesehatan turut aktif membagikan air minum, payung, dan edukasi tentang tanda-tanda hipertermia. Sistem penyemprotan air dan pusat perbelanjaan ber-AC menjadi tempat berteduh darurat bagi jemaah yang kepanasan.
Namun, tantangan tetap besar. Kebijakan kuota membuat biaya haji sangat mahal, mendorong sebagian orang untuk tetap berangkat tanpa izin resmi.
Sejak 2019, kebijakan visa turis semakin membuka celah masuknya jemaah tanpa izin, meski pemerintah Saudi berupaya menutup akses ke Mekkah selama musim haji.
Menurut Umer Karim, pengamat politik Saudi dari Universitas Birmingham, otoritas harus menyesuaikan perencanaan dengan kondisi lapangan.
“Tidak cukup hanya menyiapkan fasilitas untuk jemaah resmi. Kenyataannya, selalu ada ribuan orang yang hadir di luar sistem,” ujarnya.
Fasilitas darurat, terutama untuk pendinginan dan layanan medis, harus memperhitungkan kemungkinan ini.
Karim Elgendy dari Chatham House menambahkan bahwa kematian tahun lalu bukan hanya akibat kerumunan, tetapi juga kondisi iklim yang luar biasa.
“Posisi matahari saat titik balik musim panas memperpanjang durasi paparan sinar langsung. Kombinasi ini menciptakan badai sempurna.”
Menurut kalender Islam, waktu haji akan terus maju sekitar 11 hari setiap tahun dalam kalender Gregorian. Artinya, haji akan tetap jatuh di musim panas Saudi selama beberapa dekade mendatang.
Studi tahun 2019 dari jurnal Geophysical Research Letters bahkan memperkirakan tekanan panas selama haji akan melampaui ambang batas "bahaya ekstrem" secara periodik mulai 2047 hingga 2086.
Meski ancaman besar, berbagai pihak kini mulai bergerak mencari jalan keluar. Dari inovasi teknologi, edukasi jemaah, hingga kebijakan inklusif, semua menjadi bagian dari solusi kolektif untuk menjaga keselamatan haji di masa depan.