Suara.com - Transisi energi ke energi baru terbarukan, menjadi satu hal yang tidak bisa terhindarkan. Saat ini pemerintah bergerak cepat. Peraturan Menteri ESDM No 5 Tahun 2025 tentang pedoman Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (PJBTL) dari pembangkit EBT langsung dijalankan.
Penandatanganan perpanjangan PJBTL antara PT PLN (Persero) Unit Induk Distribusi (UID) Suluttenggo dan PT Buminata Cita Banggai Energi berlangsung di Jakarta, Jumat (16/5/2025). Ini jadi penandatanganan perdana sejak aturan tersebut terbit.
PJBTL ditandatangani langsung oleh GM PLN UID Suluttenggo, Atmoko Basuki, dan Direktur Utama PT Buminata Cita Banggai Energi, Radityo Mahendra Hutomo.
Acara juga dihadiri sejumlah perwakilan asosiasi, seperti APPLTA, Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia, Indonesia Hydropower Association, serta para pengembang Pembangkit Listrik Minihidro (PLTM) nasional.
![Ilustrasi dampak positif energi terbarukan.[Pixabay/Geralt]](https://media.suara.com/pictures/original/2022/04/15/99878-ilustrasi-dampak-positif-energi-terbarukanpixabaygeralt.jpg)
Atmoko menjelaskan, Permen ESDM No 5 Tahun 2025 merupakan turunan dari Keppres No 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan EBT.
“Penandatanganan ini sejalan dengan program ketahanan energi yang terus didorong Presiden Prabowo Subianto. Makin banyak PLTM digarap swasta, makin luas jangkauan listrik untuk rakyat,” ujarnya.
Ia menambahkan, regulasi baru ini memberi kepastian hukum bagi para pengembang. Kepastian yang sangat penting untuk mendorong investasi dan mempercepat pengembangan pembangkit berbasis EBT.
Dalam kasus ini, perpanjangan PJBTL diberikan untuk PLTM Kalumpang dan Hanga-Hanga II di Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah. Dengan perpanjangan 10 tahun, total masa operasi pembangkit menjadi 30 tahun.
PT Buminata Cita Banggai Energi menjadi pengembang swasta nasional pertama yang menerapkan Permen ESDM ini. Sejak 2003, perusahaan ini memang telah menjadi pelopor PLTM di Indonesia.
Baca Juga: Transisi Energi Indonesia Butuh Arah Jelas: Mengapa Pembangkit Gas Fosil Tak Bisa Jadi Solusi?
Pendiri perusahaan, Hengky Mahendrarto, menyambut positif kebijakan tersebut. Ia menyebut, selama ini ketidakpastian kontrak menjadi kekhawatiran utama pelaku usaha.
“Setiap kontrak hampir habis, kami cemas. Tanpa perpanjangan, semua investasi bisa lenyap begitu saja,” katanya.
Hengky mengakui, meski PLTM termasuk energi bersih yang didukung pemerintah, bisnis ini penuh risiko. Karena itu, ia berharap regulasi ini menarik lebih banyak pengusaha masuk ke sektor PLTM.
“Harga listrik yang feasible dan bankable bagi pengembang, serta tetap ekonomis untuk PLN, akan menciptakan iklim investasi yang sehat. Dan tentu saja, listrik yang dihasilkan bersih dan berkelanjutan,” ujarnya.
Kabupaten Banggai dipilih sebagai lokasi karena memiliki potensi air terjun yang tak pernah surut. Ideal untuk PLTM.
“Kami juga berkomitmen membangun tanpa merusak lingkungan,” tambah Hengky.
Kini, PT Buminata tengah membangun PLTM baru di Kabupaten Morowali Utara, Sulawesi Tengah. Ditargetkan rampung pada 2026.
Energi Bersih Kunci Masa Depan
Sebagai informasi, sekitar 6 miliar orang tinggal di negara pengimpor bahan bakar fosil, membuat mereka rentan terhadap krisis geopolitik. Sebaliknya, energi terbarukan tersedia di semua negara dan belum dimanfaatkan sepenuhnya.
Menurut Badan Energi Terbarukan Internasional (IRENA), 90 persen listrik dunia bisa berasal dari energi terbarukan pada 2050. Energi ini mengurangi ketergantungan impor, melindungi ekonomi dari fluktuasi harga, menciptakan lapangan kerja, dan mengurangi kemiskinan.
Energi surya dan angin kini jadi sumber listrik termurah di banyak negara. Biaya tenaga surya turun 85 persen sejak 2010.
Energi bersih bisa menyumbang 65 persen listrik dunia pada 2030 dan mendekarbonisasi 90% sektor listrik pada 2050. Meski ada kenaikan pasca-pandemi, harga energi fosil melonjak lebih tinggi, menjadikan energi terbarukan makin kompetitif.
Di samping itu, saat ini 99 persen orang dunia menghirup udara kotor. Polusi dari bahan bakar fosil menyebabkan 13 juta kematian per tahun dan kerugian \$2,9 triliun pada 2018. Energi bersih seperti matahari dan angin tak hanya mengurangi emisi, tapi juga menurunkan polusi udara yang membahayakan kesehatan.
Transisi energi bersih harus menempatkan kebutuhan masyarakat di pusat kebijakan. Dengan pendekatan inklusif dan adil, kita bisa memastikan tak ada yang tertinggal dalam perubahan besar ini.