Suara.com - Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengungkapkan rencana kerja sama dengan Kementerian Pertahanan (Kemenhan) tentang rencana Tentara Nasional Indonesia (TNI) memroduksi sejumlah obat-obatan.
Kepala BPOM Taruna Ikrar menyampaikan bahwa sejumlah inisiatif telah disiapkan pihaknya dalam rangka kerja sama tersebut.
Salah satunya, pengembangan obat-obatan untuk penyakit yang masih menjadi tantangan di lapangan, seperti malaria dan tuberkulosis.
Namun, belum dapat diumumkan secara detail sebelum penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara kedua lembaga tersebut.
"Contoh, hubungannya dengan obat malaria. Mungkin nanti akan dibantu hubungannya dengan obat-obat tuberkulosis. Kita tahu di antara pasukan-pasukan itu ada juga yang menderita (tuberkulosis)," ungkap Taruna usai bertemu dengan Menteri Pertahanan di Kantor BPOM Jakarta seperti ditulis Rabu 21 Mei 2025.
Selain tuberkulosis, ia juga mencontohkan kemungkinan untuk membuat obat-obatan untuk malaria dan juga anti-inflamasi.
"Atau termasuk juga malaria karena masih endemik. Dan beberapa obat-obat lain, misalnya obat penurunan panas, obat anti-inflammasi," ujarnya.
Meski pada tahap awal produksi ini ditujukan untuk memenuhi kebutuhan internal TNI, tetapi tidak menutup kemungkinan ke depan hasil produksi tersebut juga akan disalurkan untuk masyarakat luas, sebagai bagian dari sistem ketahanan nasional yang inklusif dan berkelanjutan.
"Bapak menteri pertahanan berpikiran, ingin mengikuti aturan perundang-undangan yang ada bagaimana menjadikan kebutuhan obat nasional itu bagian dari ketahanan nasional."
Baca Juga: Sah! Prabowo Tunjuk Petinggi TNI Jadi Bos Bea Cukai
"Dan dari pihak Badan POM menganggap kemandirian obat itu bagian dari ketahanan nasional. Jadi dalam konteks ini Kementerian Pertahanan ingin berkontribusi, ingin membantu pemerintah untuk ketersediaan obat-obatan," tuturnya.
Tujuan dari rencana itu, kata Taruna, karena Kementerian Pertahanan ingin berkontribusi untuk kesehatan terutama dalam ketersediaan obat-obatan.
Dia menyebutkan kalau Kemenhan memang telah memiliki lembaga dan produsen, melalui laboratorium farmasi militer.
"Kita tahu obat-obatan kan banyak sekali, bahan baku kita masih lebih dari 90 persen impor, harga obat-obat kita masih lebih mahal dari negeri tetangga. Dan mungkin dengan keterlibatan TNI bisa mempermudah proses ketercukupan obat-obatan kita yang masih kurang sekarang ini," katanya.

Menurutnya, Kementerian Pertahanan memiliki sumber daya memadai untuk memulai langkah ini.
Selain memiliki lembaga dan institusi farmasi sendiri, TNI juga telah punya fasilitas rumah sakit militer seperti RS Angkatan Darat, Angkatan Udara, dan Angkatan Laut yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia.
Setiap rumah sakit tersebut memiliki instalasi farmasi yang bisa menjadi bagian dari sistem produksi dan distribusi obat.
Sebelumnya diberitakan, Dekan Fakuktas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Prof Ari Fahrial Syam menyarankan TNI untuk membuat berbagai jenis obat.
Usulan tersebut disampaikan seiring adanya rencana Kementerian Pertahanan untuk mengupayakan TNI turut produksi obat-obatan melalui laboratorium farmasi militer.
Ari menyampaikan bahwa Indonesia masih banyak membutuhkan obat-obatan untuk infeksi bakteri juga penyakit tidak menular.
"Kalau kita bisa bilang kan misalnya obat-obat untuk antibiotik, obat-obat yang berhubungan dengan obat kanker, obat-obat untuk hipertensi, jantung, insulin, segala macam obat-obat yang terkait dengan penyakit-penyakit tidak menular," kata Ari ditemui Suara.com di Kampus FKUI, Salemba, Jakarta Pusat, Jumat 16 Mei 2025.
Menurutnya, berbagai jenis obat tersebut memang harus segera bisa diproduksi sendiri oleh Indonesia. Karena selama ini kebanyakan obat di dalam negeri didapatkan dari impor, sehingga harganya cenderung lebih mahal.
"Memang harusnya segera diproduksi. Sekali lagi ini tugas pemerintah, Kementerian Kesehatan harusnya fokus seperti itu, bukan mikirin masalah pendidikan kedokteran yang sudah ada yang ngurus," kata Ari.